MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam ilmu hadis tidak ada frasa “sahih mutawatir” sebagai suatu istilah khusus untuk menyebut sebuah hadis. Yang ada adalah istilah “sahih” dan istilah “mutawatir.” Istilah “sahih” adalah sebuah sebutan bagi sebuah hadis ditinjau dari segi nilai keotentikannya atau historisitasnya dan kebenaran isinya. Dengan kata lain “sahih” adalah pembagian hadis dilihat dari segi betul atau tidaknya berasal dari Rasulullah saw dan derajat dapat diterimanya sebagai hujjah syar‘i. Sahih sendiri berarti sah atau otentik.
Sedangkan “mutawatir” adalah sebutan bagi sebuah hadis dilihat dari segi banyak atau sedikitnya jalur periwayatan hadis tersebut. Para ahli hadis menganggap bahwa hadis mutawatir selalu sahih, karena banyaknya jalur periwayatan hadis tersebut memberi jaminan akan keabsahan dan keotentikan hadis tersebut. Sebaliknya hadis sahih tidak selalu mutawatir. Hadis sahih ada yang mutawatir dan ada yang tidak mutawatir. Hadis sahih yang tidak mutawatir mencakup hadis sahih yang ahad dan hadis sahih yang masyhur. Jadi hadis sahih mutawatir adalah hadis sahih dan sekaligus mutawatir, yaitu hadis yang dilihat dari segi keabsahan dan keotentikan asalnya dari Rasulullah saw adalah sahih, dan dilihat dari segi jumlah jalur periwayatannya adalah mutawatir. Dengan demikian hadis sahih mutawatir adalah imbangan dari hadis sahih yang ahad dan hadis sahih yang masyhur.
Apakah ada istilah “sahih mutawatir” sebagai sebuah kategori khusus hadis seperti halnya ada istilah “hasan sahih”? Mengenai hadis hasan sahih memang merupakan suatu istilah khusus yang dipakai oleh ahli hadis. Dalam hal ini at-Turmudzi adalah imam yang memperkenalkan istilah “hasan sahih”. Namun tidak ada sebutan “sahih mutawatir” sebagai sebuah terminologi khusus untuk menamakan sebuah hadis. Memang para ulama ada yang memakai pasangan kata “sahih mutawatir”, akan tetapi yang mereka maksudkan pada umumnya adalah hadis sahih dan sekaligus mutawatir, yakni hadis sahih dari segi penisbatannya kepada Rasulullah saw dan mutawatir dari segi jumlah jalur periwayatannya.
Bila kita coba membuka Program al-Jami‘ al-Kabir, yang merupakan program komputerisasi kitab-kitab khusus turas Islam yang dikatakan berisi 40.000 (empat puluh ribu) jilid buku Islam dari berbagai bidang, termasuk bidang hadis, maka kita menemukan kata “sahih mutawatir” hanya sebanyak 33 kali. Tampak bahwa pemakaian frasa “sahih mutawatir” sedikit sekali, hanya 33 kali di dalam 40.000 jilid buku. Penggunaan frasa “sahih mutawatir” di sana umumnya adalah hadis sahih dari segi penisbatannya kepada Nabi saw dan mutawatir jalur periwayatannya, artinya frasa ini digunakan sebagai imbangan hadis sahih yang ahad dan hadis sahih yang masyhur. Frasa ini tidak digunakan sebagai istilah khusus bagi sebuah hadis.
Bila dicermati 33 pemakaian tersebut, ada juga yang menggunakannya dalam pengertian lughawi (leksikal) saja, bukan sebagai sebuah istilah (terminologi). Mungkin contoh dari al-Qarafi (w. 684/1285) berikut dapat dikategorikan demikian. Beliau menulis, “Pasal: Dalam daftar nasab para Syarif ditulis: Para saksi memberi kesaksian berdasarkan … penukilan sahih mutawatir bahwa ia adalah seorang syarif keturunan al-Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib …” [Al-Qarafi, adz-Dzakhirah, X: 413]. Al-Qarafi, seorang ahli fikih dari mazhab Maliki, dalam kitab fikihnya adz-Dzakhirah yang dikutip di atas menguraikan masalah dokumen atau pencatatan sipil seperti pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, pencatatan nikah, pencatatan kecakapan bertindak hukum, dan yang dikutip di atas adalah pencatatan tentang nasab kebangsawanan, yaitu syarif. Menurut al-Qarafi dalam dokumen pencatatan itu harus disebutkan bukti berdasarkan penukilan sahih mutawatir bahwa orang itu memang adalah seorang syarif, yaitu keturunan al-Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Di sini al-Qarafi menyebut “sahih mutawatir”, namun tampaknya lebih dalam pengertian lughawi (leksikal) saja, bukan dalam pengertian khusus menurut ilmu hadis. Yang penting catatan itu membuktikan dengan penukilan sah dan masyhur bahwa orang itu memang seorang syarif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pemakaian para ulama, istilah “sahih mutawatir” bukan sebuah terminologi khusus untuk menyebut sebuah hadis sebagaimana at-Turmudzi memakai istilah “hasan sahih” untuk menyebut sebuah hadis tertentu, melainkan “sahih mutawatir” digunakan untuk menyebut sebuah hadis yang sahih dan sekaligus mutawatir, sebagai imbangan dari hadis sahih yang ahad dan hadis sahih yang masyhur.
Wallahu a’lam bish-shawab.