MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nur Kholis menerangkan sebab turunnya QS. Al Baqarah ayat 221. Mengutip dari al-Muqatil, ayat ini berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anaq, seorang wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Para ulama berbeda pendapat soal apakah ahlul kitab termasuk musyrik atau bukan. Hal ini tentu saja memiliki konsekuensi terhadap pernikahan. Menurut Rasyid Ridha, antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan) yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir.
Pendapat yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. al-Maidah ayat 5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab. Sementara itu para ulama yang berpendapat bahwa kata al-musyrik mempunyai makna umum terhadap semua orang yang mempersekutukan Allah termasuk di dalamnya ahlul kitab, menilai bahwa QS. al-Maidah ayat 5 itu telah di-nasakh (dibatalkan) hukumnya oleh QS.al-Baqarah ayat 221 di atas.
Dengan penjelasan di atas, maka pesan yang dimaksud oleh QS. Al Baqarah ayat 221 ini sesungguhnya adalah, larangan bagi laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik sebelum mereka benar-benar beriman. Allah memberikan penegasan bahwa perempuan yang beriman, sekalipun dari kalangan budak, lebih baik dari pada perempuan musyrik yang menarik hati.
Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman adalah perbedaan akidah. Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran, dan melakukan perbuatanperbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka. Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan yang harmonis antara suami dan isteri, ataupun antara keluarga yang berbeda keyakinan ini, jika nilai-nilai yang mereka anut, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan.
“Di sini ditegaskan bahwa dalam menentukan pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman,” terang Nur Kholis dalam kajian yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Kamis (20/10).