MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Perkembangan umat Islam di Indonesia yang makin semarak dalam beragama, lebih-lebih dalam urusan ibadah mahdhah dan identitas keislaman. Fenomena ini diharapkan tidak hanya semarak di atas simbol-simbol yang banal, melainkan juga secara substansi.
Demikian harapan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada, Sabtu (7/5) di acara Halalbihalal-Silaturahmi Idul Fitri 1443 H Keluarga Besar Muhammadiyah yang diselenggarakan secara hybrid melalui media daring dan luring.
Menurut Guru Besar Sosiologi ini, kesemarakan atribut agama dan gerakan-gerakan berjamaah yang dilakukan oleh umat Islam harus juga dibarengi dengan peneguhan substansi dan pemahaman keberagamaan yang hanif atau autentik seperti Firman Allah dalam QS. Ar Rum ayat 30.
“Makna hanif menurut Ibn Katsir ialah mutahanifa ‘ani al-syirki fa-ashada ila al-imani. Yaitu menjauh dari kemusyrikan dan condong mendekatkepada iman. Sementara As-Suyuthi menyebutnya tadayyun atau jiwaberagama yang bersumbu para iman dan menjauhi kekafiran,” ungkap Haedar.
Mengutip Sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa beragama yang hanif memancarkan khazanah keberagamaan yang al hanafiyyah as samhah yakni beragama yang lurus dan mengandung nilai welas asih dan toleran. Menurut Ahmad Ibn Faris, kata Haedar, kata sa-ma-ha berarti membolehkan dan memberikan, sementara sa-mu-ha artinya murah hati, dan sam-hu berarti toleransi.
“Pasca Ramadhan dan Idul Fitri seyogyanya digelorakan spirit dan praktik beragama yang hanif dan memancarkan al hanifiyah as-samhah sejalan dengan prinsip Ajaran Islam,” imbuhnya.
Menurut Haedar, kunci agar semarak keberagamaan tidak sebatas atribut atau simbol, diperlukan cara memahami Ajaran Agama Islam yang multi, yakni dengan pendekatan bayani (teks), burhani (konteks), dan irfani (ihsan). Sehingga kesemarakkan ber-islam menyatu dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang mendalam, luas, interkoneksi, dan membumi dengan amal shaleh.
“Dengan pemahaman yang substantif dan fungsional tersebut maka berislam yang semarak tidak berhenti dalam syiar semata tetapi melahirkan hikmah dan keadaban hidup yang mencerahkan kehidupan diri dan bersama sebagaimana misi utama Islam yang dibawa Nabi Muhammad”. Ungkap Haedar.
Dalam konteks Indonesia, Haedar menyebut bahwa Umat Islam Indonesia masih tertinggal terlebih dalam ekonomi dan penguasaan IPTEK. Meski sebagai golongan mayoritas, namun Umat Islam Indonesia belum menjadi kekuatan strategis yang menentukan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global.
“Karenanya Umat Islam harus memacu diri secara dinamis dan progresif agar menjadi golongan umat dan golongan bangsa yang unggul di segala bidang kehidupan,” ucap Haedar.