MUHAMMADIYAH.OR.ID, KUPANG – Kesulitan mewujudkan kehidupan publik yang damai dan bersahabat antar umat beragama salah satunya muncul karena keberadaan para penganut agama yang berpaham sempit, fanatik dan tekstual dalam memahami ayat-ayat di dalam kitab suci.
Sialnya, kelompok ini pandai memanfaatkan ruang digital. Umat pun banyak yang terseret akibat pemahaman sederhana yang ditawarkan terlihat mudah dipahami secara apa adanya. Untuk melawan pengerasan faham ini, maka diperlukan strategi baru.
Menurut Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdurrahim Ghazali, strategi jitu untuk mengikis kelompok ini salah satunya adalah dengan mengajak mereka beradu argumen secara publik dan terbuka.
“Fundamentalisme agama memunculkan persoalan karena kembali pada literalisme sehingga menimbulkan hal-hal yang negatif seperti berpikir sempit, subjektif, militan, dan lain-lain. Maka hal-hal yang negatif ini perlu kita tarik ke publik untuk diuji,” usul Ghazali pada seminar pra Muktamar Muhammadiyah di UM Kupang, Rabu (25/5).
Perlunya mengajak kelompok ini berdebat secara publik kata dia diperlukan agar masyarakat umum dapat melihat bagaimana konstruksi mereka dalam berargumen dan membangun pandangan yang ekslusif.
Padahal kata dia, dalam membaca ayat agama itu tidak bisa dilakukan secara harfiah, tetapi harus kontekstual agar ruh dari agama itu senantiasa menandingi perkembangan zaman dan bukan malah menutup diri dan kembali ke masa lampau.
“Sebab kalau kita bertemu pada kondisi yang berbeda, kita akan cenderung menyalahkan keadaan dan kita akan menyalahkan lingkungan dan masyarakat sekitar padahal sesungguhnya kita sendiri yang terlalu fokus pada hal-hal yang teknis tapi mengabaikan hal-hal yang pokok,” jelas Ghazali.
Islam sendiri kata dia tidak selaras dengan ekslusivisme. Bahkan ajaran Islam sejatinya adalah inklusif sebagaimana perintah Allah untuk tidak merasa paling suci (An-Najm ayat 32) dan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia secara berbeda suku bangsa adalah untuk saling mengenal (Al-Hujurat ayat 13).
“Kalau kita untuk mengenal saja tidak mau. Kalau untuk memahami orang lain saja tidak mau maka bagaimana mungkin kita bisa menjalin persahabatan dan persaudaran sesama umat di dunia ini?” tanya Ghazali.
“Jadi yang perlu kita lakukan adalah kolaborasi dan koeksistensi. Jadi kalau kita punya term kembali pada Alquran dan hadis, kita harus memahaminya secara progresif dan inklusif. Progresif artinya kontekstual sesuai semangat dan nalar zaman, inklusif artinya terbuka dengan pendapat dan pendapat tafsiran yang berbeda-beda,” tutupnya. (afn)