MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selenggarakan Pengajian Ramadan 1443 H, mulai dari 5 sampai 7 April 2022 secara daring dan luring di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam sambutan dan pidato iftitahnya di acara pembukaan pada, Selasa (5/4) menyebut pengajian ini secara khusus mengangkat tema “Mengembangkan Religiusitas yang Mencerahkan di Era Disrupsi”.
Pilihan tema tersebut dengan dua pertimbangan, pertama Muhammadiyah sebagai gerakan Islam seyogyanya menghidupkan tajuk keislaman yang khas, sehingga isi dan tampilannya makin kuat sebagai Gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid dalam posisi sebagai organisasi keagamaan.
Pertimbangan kedua yakni terkait dengan adanya urusan besar dalam kehidupan umat manusia yang sedang menghadapi perubahan, ketercerabutan atau disrupsi akibat dari revolusi 4.0 dan teknologi informasi. Maka diperlukan penguatan aspek religiusitas Islam yang mencerahkan sebagai panduan kehidupan manusia.
Mengutip English Dictionary dan American Dictionary Hader menjelaskan bahwa,religiosity merupakan perasaan atau keyakinan agama yang kuat, atau kualitas menjadi religious, saleh, dan taat. Dari dua pemahaman tersebut terdapat catatan kritis, yakni kualitas menjadi sangat atau terlalu religius seringkali dengan cara yang menjengkelkan.
Oleh karena itu, Haedar berharap pengajian ini akan memberikan pencerahan religiusitas di era disrupsi. Menurutnya, Muhammadiyah tidak ingin menghadirkan fanatisme beragama yang menimbulkan kejengkelan, tetapi justru menghadirkan agama, khususnya Agama Islam sebagai pencerahan.
Sementara itu, terkait dengan pola orang beragama kekinian yang semakin sekuler, Haedar menjelaskan bahwa istilah tentang sekularisme sebenarnya masih menjadi perdebatan para cendekiawan atau ulama Islam. Memaknai sekuler sebagai al-‘ilmanyyah menurut Yusuf Qardhawi kurang tepat, menurutnya yang lebih tepat adalah al-Ladiniyyah atau al-La’aqidah.
“Meskipun, sebagai catatan istilah “la-diniyah” yang disematkan Qardhawi terkesan maknanya tidak beragama atau anti agama (agnostik), apalagi anti tuhan atau ateis. Sekular atau sekuler dalam pandangan yang umum tidaklah anti-agama, hanya menempatkan agama di ranah privat atau pribadi serta memisahkannya dari urusan publik,” ungkap Haedar.