MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan bahwa rukyat sudah tidak memadai dalam menentukan awal bulan Kamariah.
Pasalnya, aktivitas mengamati hilal ini tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi pada hari pertama. Kenyataan ini membawa akibat serius seperti tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah di seluruh dunia secara serentak. Wukuf di Arafah merupakan salah satu esensi penting dalam prosesi pelaksanaan ibadah Haji.
Sementara bagi yang tidak sedang berhaji, disunahkan untuk melaksanakan ibadah puasa sunnah. Keterkaitan antara Puasa Arafah dan wukuf di Padang Arafah menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk menyatakan bahwa hari raya Idul Adha bukanlah sesuatu yang terpisah dari ibadah haji di tanah suci.
Dua peristiwa tersebut adalah dua ibadah yang berhubungan. Karena itu, ujar Syamsul, hari wukuf pada tanggal 9 Zulhijah itu harus sama dengan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah di seluruh dunia. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan rukyat, hanya bisa dengan hisab.
“Hari Arafah tidak mungkin disatukan kalau menggunakan rukyat. Karena itu satu-satunya peluang itu pakai hisab. Kalau di Arab Saudi pakai rukyat dan kita di sini pakai hisab ya percuma. Jadi semuanya harus pakai hisab. Itulah kalender internasional,” ujar Syamsul dalam Kajian Ahad pagi yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (13/03).
Syamsul mengutarakan sudah saatnya umat Islam melakukan penataan sistem waktu. Kini ketika dunia telah masuk dalam peradaban satu desa global (global village), dan umat manusia berada dalam satu sistem tata ruang global, sistem waktu umat Islam tidak dapat lagi bersifat acak, terpecah belah antara satu negara dan negara lainnya. Sehingga keberadaan Kalender Islam Global merupakan sebuah keniscayaan.
“Muhammadiyah memandang perlu adanya upaya kalender hijriyah yang berlaku secara internasional sehingga memberikan kepastian dan dapat dijadikan sebagai kalender bersama, sehingga tidak ada problem di hari Arafah,” kata pakar Hukum Islam kelahiran Riau ini.
Sayangnya, hingga saat ini dalam praktik dan kenyataan hidup umat Islam, yang digunakan adalah kalender lokal seperti kalender Malaysia, kalender Mesir, kalender Muhammadiyah, atau kalender NU yang satu sama lain berbeda.
Kalender-kalender tersebut juga hanya dipakai dalam kawasan dan komunitas terbatas, disekat oleh mitos kebangsaan dan emosi kolektif organisasi Islam. Hal ini begitu memprihatinkan sebab umat Islam sedunia tidak dapat melakukan selebrasi keagamaan secara serempak.
“Umat Islam sampai saat ini belum ada kalender yang terpadu. Adanya kalender Arab Saudi, kalender Muhammadiyah, kalender macam-macam. Lalu kalender mana? Hanya bisa dengan kalender hijiriyah internasional,” ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.