MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kelompok masyarakat penyandang difabel masih dianggap miring oleh sebagian masyarakat. Selain persoalan struktural, fenomena ini muncul akibat kurangnya pengawalan terhadap akses dan pelayanan kelompok difabel yang lebih inklusif.
Dalam siaran Kolak TVMU, Rabu (5/1) Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menilai perlunya aktualisasi sekolah atau pendidikan inklusif bagi kelompok difabel.
“Pengertian pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung peserta didik berkebutuhan khusus supaya tidak lagi sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa), tapi di sekolah-sekolah umum yang paling tidak mereka bisa berinteraksi dengan murid-murid lainnya. Sehingga mereka kemudian bisa berintegrasi dengan masyarakat terutama teman-teman sebaya di sekolah itu,” ujar Mu’ti.
Menurut Mu’ti berbagai dokumen internasional sepakat bahwa pendidikan inklusif adalah solusi terbaik dalam mengurai permasalah integrasi kelompok difabel. Hanya saja di Indonesia, menurutnya masih banyak fasilitas sekolah dan sarana publik yang belum maksimal.
Dari sisi hukum, negara dianggap Mu’ti sudah memiliki kesiapan lebih soal pendidikan inklusif bagi kelompok difabel. Misalnya lewat UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, UU HAM, UU tentang disabilitas, UU No.8 Tahun 2016, Permendikbud No.70 Tahun 2009, hingga PP No.13 Tahun 2020.
“Karena itu maka secara regulasi sebenarnya masih sangat banyak ketentuan bagaimana negara dan pemerintah itu harus membersamai penyandang disabilitas dengan pelayanan dan perlakuan yang sebaik-baiknya,” kata Mu’ti.
Semangat pendidikan inklusif sendiri menurutnya ada tiga hal. Pertama, sebagai pelayanan dan pemenuhan hak-hak warga negara. Karena seringkal kelompok difabel dikucilkan bahkan dieksploitasi untuk hal-hal yang di luar prinsip kemanusiaan, misalnya menjadi peminta-minta.
“Menurut saya ini bukan sikap yang sesuai dengan moralitas, HAM, dan tentu saja tuntunan agama. Karena itu pentingnya memberikan perhatian, khususnya pendidikan itu menjadi sangat mutlak sehingga mereka bisa menjadi warga negara yang mandiri, bukan warga negara yang bergantung pada orang lain karena keadaannya,” jelas Mu’ti.
“Paradigma belas kasihan, kepapahan memandang mereka justru semakin menempatkan saudara kita ini pada posisi yang sub-ordinate, semakin rendah. Orang semakin look down melihat mereka dengan pandangan yang rendah. Ini tidak boleh dibiarkan dan terjadi dalam kehidupan sosial kita,” imbuhnya.
Kedua, Mu’ti memandang bahwa kelompok difabel sejatinya adalah orang yang setara dengan non-difabel di bidang potensi diri.
“Saudara-saudara kita ini sebenarnya punya kemampuan dengan keadaan fisiknya mereka punya kemampuan itu yang oleh pendidikan perlu untuk dikembangakan karena sesungguhnya pendidikan itu diperlukan untuk meningkatkan potensi manusia. Nah potensi itu yang memang harus kita temukan dan kita fasilitasi dengan pendidikan (inklusif),” pungkas Mu’ti.