MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Ajaran Islam menegaskan bahwa posisi perempuan dan laki-laki adalah setara. Posisi laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan, begitu pula sebaliknya.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, ayat ke-97 Surat An-Nahl menegaskan ajaran itu. Bahwa kaum perempuan memiliki kesempatan berkompetisi yang setara dengan kaum laki-laki.
Ayat di atas dianggap Haedar tidak bertentangan dengan Surat An-Nisa ayat ke-34 yang menjelaskan bahwa Ar-Rijaalu Qawwamuna ‘alan-nisaa’, laki-laki wajib bertanggung jawab terhadap perempuan.
“Nah karena kita ini diciptakan mulia, satu sama lain saling menghargai. Laki-laki menghargai perempuan, perempuan menghargai laki-laki. Dan Islam memelopori dan mengajarkan agama yang memuliakan laki-laki dan perempuan dan saat itu (masa Jahiliyah) kebetulan perempuan yang dihinakan martabat dan derajatnya,” kata Haedar.
Dalam pengajian Milad ke-94 RS PKU Muhammadiyah Surakarta, Sabtu (4/12) Haedar mengingatkan bahwa ajaran memuliakan perempuan ini telah lama diamalkan oleh Muhammadiyah sejak berdiri pada tahun 1912. Maka, para warga, anggota, kader, dan pimpinan Persyarikatan menurutnya wajib bersikap sama.
“Nah Muhammadiyah memelopori itu. Maka kita tidak ada maslah dengan isu-isu kemanusiaan, tapi karakteknya memang harus kita kawal, kita jaga, kita lakukan. Maka di kalangan Muhammadiyah sebenarnya sudah terbangun budaya. Tidak pernah di Muhammadiyah itu ada budaya merendahkan kaum perempuan, melecehkan, melakukan kekerasan dan lain sebagainya,” tegas Haedar.
Memuliakan perempuan bagi Muhammadiyah kata Haedar juga tidak ada hubungannya dengan teori emansipasi yang menurutnya memiliki kutub ekstrim dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.
“Dan ini tidak ada hubungannya dengan Teori Emansipasi. Bahkan kalau memang ada yang berpandangan dua hal ekstrim, baik karena pandangan emansipasi yang mempertentangkan laki-laki dan perempuan seakan-akan bahwa hidup kita ini di ruang publik dan di rumah itu saling berebut kuasa dalam relasi kuasa kemudian saling menjatuhkan, saling merendahkan, ya itu yang salah teori relasi kuasanya,” jelas Haedar.
“Tapi juga jangan sebaliknya, atas nama agama lalu merendahkan kaum perempuan. Karena kan masih ada pandangan-pandangan yang negatif (terhadap perempuan). Nah di sinilah Muhammadiyah memandang harus pada pemuliaan manusia,” imbuhnya.
“Masing-masing, laki-laki punya kelebihan dibanding perempuan dan sebaliknya. Maka disebut bahwa ketika perempuan diikat dalam perkawinan dan harus diikat dalam perkawinan, dia menjadi azwaj, saling menyangga, saling berpasangan,” pungkas Haedar.