MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di pasar global turun 5,83% secara point-to-point dalam sepekan terakhir. Sebulan ke belakang, harga CPO ambles di angka 8,5%. Pada Kamis (3/12), harga CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.640/ton.
Imbas dari turunnya CPO adalah kenaikan minyak goreng kelapa sawit di tingkat lokal. Meskipun begitu, beberapa analis ekonomi memperkirakan harga CPO kembali naik di tahun depan.
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna menilai turunnya harga CPO di tingkat global membuat banyak konsumen minyak goreng kelapa sawit terutama industri rumah tangga, usaha warung dan UMKM semakin tercekik.
Mukhaer pun mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga minyak goreng mengingat Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir CPO terbesar dunia.
Dengan fakta itu, Mukhaer menilai harga minyak goreng domestik seharusnya tidak ikut terimbas oleh turun atau naiknya CPO di pasar global.
“Harga minyak goreng yang selama satu bulan terakhir naik gila-gilaan, hanya memberi manfaat pada pelaku usaha raksasa yang selalu bertengger sebagai orang terkaya di Tanah Air. Sehingga tercatat harga telah naik kisaran Rp22.000 per liter baik minyak goreng curah maupun minyak goreng bermerek I dan II,” kata Mukhaer lewat keterangan tertulis, Sabtu (4/12).
Membawa prediksi Kementerian Perdagangan (Kemendag) tentang kenaikan harga minyak goreng yang akan terjadi sampai kuartal I-2022, menurut Mukhaer kenaikan harga tersebut tidak logis. Dirinya menilai ada persoalan struktural yang bermasalah dari hulu hingga hilir di industri perkebunan kelapa sawit.
Lebih lanjut, Mukhaer juga menganggap kebijakan Menteri Perdagangan untuk menjual minyak goreng kemasan murah seharga Rp11.000 per liter sebagai solusi adalah kebijakan karikatif semata.
“Ini artinya, bisnis perkebunan kelapa sawit, CPO dan turunannya, sejak lahir sudah bermasalah. Tapi, semua persoalan itu selalu ditutupi dengan kekuatan kapital besar, baik diberikan kepada penguasa politik, para akademisi yang selalu mencari dalih/pembenaran teoritik, hingga kelompok-kelompok masyarakat tertentu di daerah dan di pusat,” tutupnya.