MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Sebelum menetapkan suatu fatwa atau produk ijtihad, pertama-tama yang harus dilakukan ialah mengidentifikasi masalah dengan memahami realitas (fiqh al-waqi’). Khairuddin Khamsin dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (14/10) menuturkan bahwa Fiqh al-Waqi’ ialah ilmu yang dibangun atas dasar kajian realitas yang dilakukan secara komprehensif.
“Fiqh al Waqi’ ini artinya ilmu yang dibangun atas dasarkajian realitas, di mana kajian tersebut dilakukan secara komperehensif mencakup semua aspek masalah yang tercakup di dalamnya seperti kajian yang bersumber dari informasiyang valid, data (statistik) dan survei yang rinci dan detail,” terang Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPPI UMY) ini.
Khairuddin kemudian menerangkan tentang unsur penting dalam Fiqh al-Waqi’, di antaranya: 1) memahami masalah secara utuh dan benar, termasuk mengetahui dari berbagai aspeknya; 2) menganalisa masalah (paham terhadap subtansinya, mampu memilih dan memilah yang masalahat dengan yang mudharat); 3) mendudukkan dan merumuskan masalah; 4) mengimplementasikan teks Al Quran dan Hadis atas realitas yang ada.
“Jadi, sebelum menetapkan fatwa prosesnya panjang sekali. Kita harus memahami suatu dari berbagai aspek, tahu mashlahat dan mudharat, mampu merumuskan masalah dan mengimplementasikan teks atau nas atas realitas,” tutur Khairuddin.
Pakar Hukum Islam ini menjelaskan bahwa Fiqh al-Waqi’ ini merupakan langkah awal yang sangat penting dalam penetapan hukum dan menjadi dasar dalam berijtihad. Sebab posisi Fiqh al-Waqi’ menentukan benar atau tidaknya suatu hukum atau kebijakan yang dihasilkan dalam istinbath hukum. Dengan Fiqh al-Waqi’ yang tepat, mujtahid akan mampu membedakan hukum dalam kondisi normal dan kondisi khusus (darurat).
“Hukum itu tidak dipatok dari awal, sebab harus melewati prosedur Fiqh al-Waqi’ terlebih dahulu sebagai langkah awal dan kedudukannya menentukan benar atau tidaknya suatu ijtihad. Dengan memahami realitas yang tepat pula, kita akan mampu membedakan kondisi normal dan kondisi darurat,” kata Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Contoh penggunaan Fiqh al-Waqi’ sebelum menetapkan suatu fatwa di Majelis Tarjih ialah hukum salat berjamaah di masjid dan salat id di lapangan dalam kondisi darurat Pandemi Covid-19. Sebelum memutuskan, Majelis Tarjih mengundang sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu untuk mengetahui realitas (al-waqi’), setelah mendengar masukan dari para pakar tersebut kemudian menetapkan fatwa keagamaan.