MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Hadir dalam seminar nasional DPP Ikatan Alumni UNY bertajuk Membedah Sistem Pendidikan Muhammadiyah, Selasa (12/10) Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti mengungkapkan bahwa berdirinya sekolah Muhammadiyah di berbagai daerah terpencil bukanlah hal baru.
“Murid-murid di Muhammadiyah itu tidak terdiri dari warga Muhammadiyah saja atau masyarakat muslim saja. Tapi siapa saja yang belajar di Muhammadiyah akan diterima dengan sebaik-baiknya. Nah karena itulah maka banyak hal yang bisa kita lihat dari sisi historis bagaimana sekolah-sekolah Muhammadiyah itu berdiri lebih dulu dibandingkan dengan sekolah-sekolah pemerintah,” tutur Mu’ti.
Abdul Mu’ti lantas menceritakan beberapa pengalamannya ke daerah terluar, salah satunya adalah wilayah Subaim dan Sofifi di Maluku Utara yang hanya memiliki lembaga pendidikan sekolah dasar saja.
“Pemikiran Muhammadiyah sederhana, bahwa masyarakat di situ tidak boleh berhenti pendidikannya hanya sampai tingkat SD. Mereka harus belajar pada tingkat yang lebih lanjut dan karena pemerintah tidak menyelenggarakan pendidikan maka Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan SMP yang saya mendapat cerita bagaimana mereka berjuang dari nol yang memang di situ sekolahnya dimulai dari prinsip yang penting ada sekolah saja dulu,” kenangnya.
Pengalaman seperti di Subaim dan Sofifi ini menurut Mu’ti banyak ditemukan di berbagai daerah. Misalnya SD dalam kisah populer Laskar Pelangi, bahkan hingga Perguruan Tinggi di Indonesia Timur yang mayoritas peserta didiknya adalah non muslim.
“Pertimbangan pragmatis dan strategis karena masyarakat tidak mungkin selalu bisa keluar kuliah dari pulau karena sangat mahal dan agar bisa terjangkau dan bisa melayani masyarakat maka didirikanlah sekolah tinggi itu. Dan bupatinya pada waktu itu sangat berbahagia,” ucapnya.