MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Masih sedikit orang termasuk warga Muhammadiyah mengetahui, bahwa sinergi lintas iman yang dilakukan oleh Muhammadiyah khususnya Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) tentang kemanusiaan telah berjalan inklusi sejak awal, bahkan sebelum Bagian PKO diresmikan.
Sejarawan Muhammadiyah, Ahmad Muarif menyampaikan bahwa, latar belakang berdirinya Bagian PKO adalah momentum ketika Gunung Api Kelud di Kediri meletus pada tahun 1919. Di mana pada saat itu, Kyai Sudja’ bersama Warga Kampung Kauman yang notabene anggota Muhammadiyah menggalang solidaritas untuk korban Kelud, tergabung dalam Komite Kelud.
“Kiyai Sudja’ dan kawan-kawan tidak bekerja sendirian, mereka berkolaborasi dengan para pegiat kemanusiaan di Yogyakarta, baik dari kalangan pribumi maupun keturunan orang Eropa. Mereka tergabung dalam Komite Kelud di Yogyakarta,” ungkapnya pada (6/9) dalam Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah yang diadakan oleh MPI PP Muhammadiyah.
Selain dari kalangan pegiat kemanusiaan, yang tergabung dalam Komite Kelud ini juga diikuti oleh dokter-dokter berkebangsaan Belanda, dan intelektual Belanda. Menurutnya, dari fakta sejarah tersebut menyampaikan pesan bahwa dalam urusan aktivitas kemanusiaan tidak mengenal latar belakang agama, etnis, dan lainnya.
Hal itu berkorelasi dengan dokumen asas PKO Muhammadiyah. Meski bantuan hasil penggalangan yang dilakukan gagal dikirim ke Kelud, Kediri sebab diarahkan oleh Sultan Yogyakarta saat itu menyarankan untuk diberikan kepada orang miskin di Yogyakarta, karena urusan Meletusnya Gunung Kelud telah ditangani oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
“Dana yang sudah terkumpul oleh Kyai Sudja’ digunakan oleh kawan-kawan untuk menolong fakir, miskin, kelompok miskin di perkotaan Yogyakarta,” tuturnya.
Gerakan ini yang oleh Muarif kemudian lebih dikenal sebagai gerakan revolusi Al Ma’un. Kemudian pada 17 Juni 1920 Bagian PKO resmi dibentuk sebagai unsur pembantu pimpinan di Muhammadiyah, selain Bagian Sekolah, Tabligh, dan Pustaka.
Kegiatan Bagian PKO waktu itu bukan hanya mengumpulkan dana dari masyarakat secara accidental, melainkan juga melalui cara yang berkesinambungan dan kreatif. Misalnya melalui Pasar Tiban/Pasar Ramadan atau yang pada masa itu disebut dengan istilah Restoran. Dana yang berhasil dihimpun melalui kegiatan ini digunakan untuk operasional rumah miskin, poliklinik dan lain sebagainya.