MUHAMMADIYAH.OR.ID, MESIR—Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang bertitik tolak dari al-‘ilmu al-hudhuri. Menurut Syamsul Anwar, al-‘ilmu al-hudhuri ialah pengetahuan yang tidak diperoleh dari analisis rasional maupun penggalian atas teks-teks keagamaan. Ilmu ini biasanya dikembangkan oleh para sufi, di mana mereka berkeyakinan bahwa segala sesuatu dapat diketahui melalui kemampuan pendalaman batin.
“Ini biasa disebut ilmu batin, ilmu yang langsung dipancarkan Tuhan yang tidak dihasilkan oleh sebuah prosedur diskursif atau prosedur empiris. Tapi langsung diterima seperti sinar matahari yang memancar,” ungkap Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini dalam acara Sekolah Tarjih se-PCIM Timur Tengah pada (6/9).
Secara potensial, irfani mungkin diperoleh setiap manusia yang melakukan perjalanan ruhani. Sasaran bidiknya adalah aspek esoterik. Konsekuensi yuridis penerimaan irfani sebagai salah satu pendekatan dalam Manhaj Tarjih, kata Syamsul, fatwa yang dihasilkan harus sesuai dengan intuisi dan hati nurani. Misalnya, fatwa tentang memprioritaskan sedekah dan infak daripada ibadah kurban di masa pandemi Covid-19.
“Karenanya dalam Fatwa Tarjih yang telah dikeluarkan tentang ini memasukan unsur irfani. Saya pernah diprotes tentang fatwa (prioritas infak daripada kurban) ini oleh orang yang sistem berpikirnya hanya menekankan aspek bayani saja. Padahal irfani juga kita butuhkan,” imbuh Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Sebagai model epistemologi, irfani sesungguhnya merupakan sistem pengetahuan spiritual yang kaya sehingga dipandang sebagai khazanah Islam. Keberadaannya dibutuhkan agar ijtihad tidak semata-mata dari penggalian atas teks dan hitung-hitungan matematis saja. Akan tetapi, Syamsul menegaskan bahwa tidak semua sistem pengetahuan irfani ini diambil seluruhnya. Majelis Tarjih hanya mengambil aspek kesadaran nurani, kepekaan sosial, dan kesalehan spiritual.
Sedangkan dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud, tidak diambil Majelis Tarjih. Paham wahdatul wujud ini mengenalkan bahwa realitas itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud. Para sufi bahkan menyebut alam, yakni segala sesuatu selain Allah, sebagai ‘tajalli‘ (penampakan-diri) Tuhan. Pandangan ini diyakini oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jili, Hamza Fansuri, dan sejumlah sufi lainnya.
“Para sufi meyakini bahwa wujud itu hanya satu. Satu yang ada itu hanya Allah, alam semesta dan isinya dianggap tidak ada, hampa, tidak ada wujudnya. Sebab segala sesuatu yang selain Allah itu adalah khayalan seperti bayangan pohon,” tutur Syamsul.
Pakar Hukum Islam ini menerangkan bahwa konsekuensi aksiologis menganggap realitas itu hanya satu (wahdatul wujud) akan melahirkan sikap anti dunia dan menganggap kehidupan ini kotor. Sementara Konsekuensi epistemologisnya adalah sulit mengembangkan sains dan teknologi. Pasalnya, sistem epistemologi yang mereka pakai dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan ahwal dan maqamat untuk sampai ma’rifatullah.
Sementara dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan dari wahyu dan alam. Pada level aksiologisnya, melahirkan sikap bahwa dunia merupakan panggung kehidupan untuk mencapai prestasi terbaik di akhirat. Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan hanya untuk menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.
“Muhammadiyah tidak mengambil ontologi, epistemologi, dan aksiologi tasawuf secara menyeluruh. Sebab secara ontologi dunia ini riil atau ada secara hakiki, secara epistemologi pengetahuan akan dunia tentang alam dan seisinya ini amat penting, dan secara aksiologi dunia ini berharga tempat melaksanakan tanggungjawab kosmik dan moral,” kata Syamsul.