MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Awal Maret 2021, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) meraih prestasi membanggakan dengan menempati posisi pertama Universitas Islam Terbaik Dunia tahun 2021 versi UniRank.
Dengan mahasiswa aktif sebanyak 41.603 orang sesuai data PDDikti, UMM menjadi universitas bergengsi di Indonesia yang memiliki 7 Program Pendidikan Profesi, 3 Program Doktoral, 9 Program Magister, 10 Fakuktas yang terdiri dari 35 Program Studi Sarjana, dan 3 Program Diploma.
Siapa sangka perjalanan UMM yang kini menjadi universitas terpandang berawal dari kondisi prihatin, serba terbatas dan kekurangan.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus mantan Rektor UMM tiga periode dari tahun 2000 hingga tahun 2016 Muhadjir Effendy mengisahkan suka duka perjalanan UMM merangkak dari posisi bawah hingga terpandang.
Berawal dari Universitas Cabang UM Jakarta di Malang
Ketika didirikan pada tahun 1964, UMM merupakan cabang dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Karena itu nama UMM pun masih sebagai Universitas Muhammadiyah Jakarta di Malang.
UMM meski telah resmi memisahkan diri pada tahun 1968, dan memiliki tiga fakultas sesuai akta notaris pendirian, menurut penuturan Muhadjir perlu perjuangan keras untuk meyakinkan UMJ membebaskan diri menjadi UMM.
“Dan Jakarta waktu itu kereng (garang) banget, Ngak boleh diubah namanya. Hanya dua jurusan, FIS dengan satu prodi Kesejahteraan Sosial dan FKIP dengan satu prodi pendidikan agama Islam,” ungkap Muhadjir dalam Kuliah Umum di Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU), Sabtu (11/9).
Muhadjir mengisahkan bahwa dirinya mulai mengabdi di UMM karena ‘dipaksa’ oleh mendiang almarhum Malik Fadjar pada awal tahun 1983-an. Dari posisi awal hingga menjadi Rektor, Muhadjir mengaku telah mengabdi selama 32 tahun untuk UMM.
“Jadi jika saya hitung-hitung, saya memimpin UMM ini 32 tahun, seperti Pak Harto,” candanya.
Mahasiswa Menunggak dan Muhadjir Diancam Ketua Senat
Gedung pertama UMM adalah gedung seluas 3.000 meter milik pemerintah di Jalan Bandung yang kini menjadi Kampus I UMM.
“Waktu awal UMM jadi Perguruan Tinggi itu UMM sangat tidak dihitung di Malang. Kampus jalan Bandung itu satu, 3000m, milik pemerintah, kalau pagi dipakai Madrasah Tsanawiyah dan PGAP Muhammadiyah, sorenya baru dipakai kuliah,” kenang Muhadjir.
Dua tahun pertama menjadi bagian UMM antara tahun 1985-1986, Muhadjir menyebut bahwa dari 700 mahasiswa, saat itu yang bersedia membayar biaya kuliah hanya 300 orang saja. 400 sisanya bahkan tidak sekadar menolak membayar, tapi juga tinggal di Kampus bahkan sebagian tinggal dengan keluarganya.
“Waktu itu kita ga ada yang bisa dijual dan mahasiswanya itu kerjaannya hanya demo. Jadi waktu bayar SPP mesti demo minta ditunda,” kata Muhadjir mengenang. Kebijakan tegas Rektor UMM almarhum Malik Fadjar pun tidak digubris mahasiswa.
“Kita kumpulkan di aula kecil lalu Pak Malik menawari dua hal: dibebaskan tidak bayar SPP tapi mulai hari ini keluar ga jadi mahasiswa, atau kedua, (tunggakan) yang dulu diampuni Ngak perlu bayar, tapi mulai sekarang harus bayar. Itu saja yang mau lanjut hanya 400 orang. Sisanya nolak,” kenang Muhadjir sembari tertawa.
Karena kebijakan itu, Muhadjir menuturkan sempat diancam akan dikeluarkan isi perutnya oleh Ketua Senat yang memimpin demo.
“Kemudian saya ingat betul itu, saya datang jam 11 malam di kostnya, ayo keluar katanya kamu mau mengeluarkan isi perut saya. Lho, tobat-tobat dia,” kata Muhadjir tertawa.
“Besoknya dia berbalik, teriak siapa yang lawan Pak Muhajir, berhadapan dengan saya. Akhirnya 500-600an mahasiswa mau bayar. Tapi banyak yang lulus punya ijazah dan belum bayar,” imbuhnya.
Merintis Kemajuan, Pandai Menangkap Peluang
Untuk mengangkat posisi UMM, Muhadjir menuturkan harus cermat menangkap peluang. Saat itu, UMM mengangkat namanya lewat dua jalur, yakni Sepakbola dan Akademi Keperawatan (Akper).
Momentum pertama datang ketika pemerintah mengharuskan para perawat lulusan SPK menempuh pendidikan lagi di Akper.
Kesempatan ini dimanfaatkan UMM dengan menyisipkan praktek bedah mayat dengan mata kuliah anatomi dan sertifikat keahlian yang sebenarnya tak lazim bagi Akper. Akibatnya, ribuan perawat di Jawa Timur banyak yang menempuh studi di UMM.
“Artinya cari peluang yang orang tidak tahu. Itu yang penting. Jangan lupa, jangan banyak melakukan apa yang orang sudah banyak melakukan,” pesan Muhadjir.
Mengangkat Nama UMM Lewat Sepakbola
Strategi kedua yang digunakan oleh UMM untuk dikenal oleh masyarakat tutur Muhadjir adalah lewat jalur sepakbola. Menyadari tidak memiliki sesuatu yang bisa dijual, maka UMM saat itu memberikan beasiswa kepada para pemain Persema Malang untuk menjadi mahasiswa UMM.
“Kuliahnya Ngak pernah masuk Ngak papa, Ngak pinter Ngak papa, yang penting sepakbolanya menang,” kata Muhadjir.
Alasan Muhadjir menggunakan sepakbola karena untuk mengalahkan universitas swasta dan universitas negeri lain yang bergengsi tidak mungkin dilakukan UMM saat itu lewat jalur akademik.
Dengan mengalahkan universitas negeri lain lewat sepakbola, nama UMM pun bisa dianggap masyarakat memiliki kualitas yang lebih baik.
“Dan itu Pak Malik (Fadjar) kalau UMM main, kampusnya libur. Semua (mahasiswa) digiring ke (Stadion) Gajayana nonton sepakbola. Dipimpin rektor. Yang penting bisa mengalahkan negeri. Dan berhasil. Itulah cara jualan,” kenangnya.
Menjaga Kepercayaan dan Reputasi Kampus
Setelah berhasil mendapatkan tempat di masyarakat, UMM menurut Muhadjir mulai menaikkan kualitas yang berbanding lurus dengan pembiayaannya sehingga banyak sebutan lain bagi UMM.
UMM harus memilih antara universitas yang mahal dan berkualitas dengan jumlah mahasiswa sedikit atau jumlah mahasiswa banyak dengan biaya yang murah.
“Makanya dulu nama UMM itu Universitas Murah Meriah. Kemudian mulai sedikit-sedikit setelah pindah ke Kampus III, jadi Universitas Munggah Mudun karena (geografis) kampusnya naik turun. Setelah itu, UMM berubah menjadi Universitas Makin Mahal. Sekarang UMM bukan Universitas Makin Mahal, tapi Universitas Memang Mahal,” kelakar Muhadjir.
Muhadjir mengungkapkan bahwa di UMM ada lembaga khusus yang bertugas memproyeksikan jumlah penerimaan mahasiswa setiap tahun sehingga strategi pembangunan kampus tidak tersendat, meski dalam masa krisis moneter.
Upaya itu menurutnya untuk menjaga kualitas UMM agar tetap unggul sehingga akhirnya UMM dipercaya oleh banyak pihak, termasuk banyak peminat dari SMA Katolik dari berbagai kota.
“Karena itu modal itu trust. Dan bendera Muhammadiyah itu bendera yang paten untuk itu. Jadi kalau orang menyebut Muhammadiyah itu pasti begini dalam arti positif. Karena itu jangan sekali-kali menciderai, mengganggu, atau merusak trust kepada masyarakat kita. Membangun kepercayaan itu mahal, sekali kita tidak dipercaya, terjun bebas kita. Kepercayaan itulah kualitas individu baik kader atau lembaga Muhammadiyah,” ungkap Muhadjir.
Membentuk Alumni Yang Bangga dan Membanggakan Almamater
Terakhir, Muhadjir menyebut bahwa usaha UMM untuk menjadi kampus unggul adalah dengan membentuk mahasiswa yang kelak ketika menjadi alumni keluar sebagai teladan yang bangga dan membanggakan almamater.
“Apa yang dilakukan alumni itu pamflet hidup dan itu lebih mahal dibanding kita bikin spanduk, baliho atau pasang iklan di Koran. Tapi perilaku alumni dan mahasiswa itulah yang jadi cerminan. Makanya harus dibentuk betul ketika masih menjadi mahasiswa,” kata Muhadjir.
Kini, nama-nama alumni UMM menurut Muhadjir banyak yang berkiprah di berbagai bidang pemerintahan hingga berbagai bidang kemasyarakatan. Hal ini, patut diperhatikan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah lainnya sebagai percontohan.
“Saya sekarang ini merindukan bagaimana ya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah itu mulai dari TK Busthanul ‘Athfal sampai perguruan tingginya itu melahirkan kader-kader Muhammadiyah yang tadi itu, dia bangga terhadap almamaternya, tapi dia juga membanggakan almamater,” pungkasnya.
Naskah: Afandi
Editor: Fauzan AS