MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Wawan Gunawan Abdul Wahid mengatakan bahwa Fikih yang digunakan Muhammadiyah mengikuti teori jenjang norma dan berparadigma maqashidi. Karenanya, rencana penyusunan Fikih Wakaf Kontemporer pertama-tama harus menentukan nilai-nilai dasarnya terlebih dahulu. Wawan menyebut tiga nilai dasar Fikih Wakaf Kontemporer, di antaranya: karamah insaniyah, kemaslahatan dan kemakmuran, dan memenangkan kebaikan.
Selain nilai dasar, paradigma maqashidi dalam penyusunan Fikih Wakaf Kontemporer juga tidak kalah penting. Wawan menjelaskan butir-butir penting maqashid syariah, di antaranya: Pertama, wakaf dan hidzu al-din. Misalnya, kata Wawan, pembangunan dan perawatan masjid. Masjid selama ini menjadi pusat pengajaran agama seperti ceramah, diskusi, konsultasi, dan kegiatan tahsin-tahfidz, maka pembangunan masjid berfungsi sebagai memelihara agama.
Kedua, wakaf dan hifdzu al-nafs. Wawan menjelaskan bahwa sejarah mencatat seorang sahabat yang bernama Tamim ad Dari merupakan seorang pioner yang menggunakan wakaf untuk merawat jiwa di Kota Khalil yang kemungkinan saat ini di wilayah Palestina. Wakafnya berupa rumah layanan yang memberi makanan berat untuk mereka yang membutuhkan, khususnya orang tua. Begitu pula dengan Ustman bin Afan yang pernah membeli sumur untuk kemaslahatan bersama, dan Khalifah ar Rasyid yang pernah membangun jalur air untuk mengairi seluruh negeri.
“Wakaf berupa penyediaan sandang, pangan, dan papan adalah cara yang bisa menjaga jiwa dan raga, baik kemungkinan terpapar sakit maupun kemiskinan struktural. Salah satu wakaf hifdzu nafs yang lain adalah layanan penyediaan air sebagai sumber kehidupan dan ibadah,” terang Wawan dalam acara Halaqah Fikih Wakaf Kontemporer pada Sabtu (21/08).
Ketiga, wakaf dan hifdzu al-‘aql. Dalam sejarahnya, wakaf berjasa dalam membangun perpustakaan, lembaga pendidikan, dan bangunan riset. Dengan cara ini, terang Wawan, wakaf telah menyelematkan dari umat dari kebodohan, bahkan berkontribusi besar dalam melepaskan taklid dan menebarkan tajdid.
“Ketika pendidikan dan pengajaran awal Islam tidak bergantung pada negara, maka para muhsinin atau orang-orang yang membayar wakaf membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan. Dengan wakaf lahir para pesohor ilmu seperti Ibnu Sina, dan lain-lain,” ungkap anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Keempat, wakaf dan hifdzu al-nasl. Sahabat Zubair bin Awwan, salah seorang keponakan Siti Khadijah, mewakafkan rumahnya di Mekkah untuk para putrinya yang janda dan selanjutnya rumah tersebut dipakai para janda. Menurut Wawan, wakaf dalam hal ini juga digunakan dalam pembiayaan pernikahan yang diberikan untuk orang miskin maupun gadis yatim.
Kelima, wakaf dan hifdzu al-mal. Wawan menuturkan bahwa harta semuanya milik Allah, dan manusia yang mengelolanya. Harta yang dikelola atasnama wakaf harus senantiasa berkembang dan bermanfaat semaksimal mungkin. Bila tidak produktif, maka mungkin disatukan dengan harta wakaf lainnya agar nilainya terjaga yaitu kemanfaatan dan kemasalahatannya.