MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Gagasan internasionalisasi Muhammadiyah tidak berada di awang-awang tanpa melihat kapasitas diri, demikian pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir pada Sabtu (21/8).
Setidaknya, bidang Internasionalisasi Muhammadiyah dilakukan berdasarkan dua hal: pertama, bidang yang sama telah mapan di dalam negeri. Dan kedua, internasionalisasi dilaksanakan di negara terdekat (regional).
Dalam upaya perdamaian, Muhammadiyah di kawasan Asean sejatinya telah terlibat aktif dalam resolusi konflik di Mindanao (Filipina), Pattani (Thailand), dan Rohingya (Myanmar).
Meskipun peran Muhammadiyah sangat menonjol pada resolusi konflik di atas, terutama di Mindanao, Ketua Program Magister Hubungan Internasional UMY Surwandono menilai komitmen Muhammadiyah secara organisasi belum terkelola dengan baik.
Kesuksesan Muhammadiyah di Mindanao misalnya, lebih muncul karena inisiatif dan peran individu Wakil Ketua Majelis Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah Sudibyo Markus yang bekerja habis-habisan.
“Sampai hari ini memang dalam konteks resolusi konflik, ini belum jadi Majelis. Kalaupun ada, kita punya LHKI/LHKP tapi isunya lebih pada politik praktis. Kita belum bisa pungkiri teologi perdamaian Muhammadiyah belum banyak disusun. Kalaupun dikelola, itu masih hit and run saja,” kritik Surwandono dalam forum Centre for Development and International Studies UMY, Senin (30/8).
Surwandono menyayangkan pribadi Sudibyo Markus termasuk gagasan-gagasan perdamaiannya yang menjadi antitesis dari pernyataan Samuel Huntington tidak begitu terelaborasi oleh Persyarikatan. Dalam resolusi konflik, dirinya berharap Muhammadiyah mampu merumuskan teologi Al-Hujurat di samping teologi Al-Ma’un.
“Kalau tidak terlembagakan dan terdokumentasikan dengan baik, pribadi-pribadi seperti Profesor Sudibyo Markus akan habis. Beliau sudah meletakkan pokok-pokok penting dalam meletakkan perdamaian. Kita perlu meletakkan replika-replika beliau sehingga peran Muhammadiyah di abad ke-21 semakin kuat,” pesannya.