MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Frame atau kerangka berpikir teologis bagi muslim, tidak boleh menjadikannya ghuluw atau ekstrim, berlebihan. Sikap berlebihan tidak diperbolehkan, baik berlebihan percaya nilai ketuhanan, begitu juga tidak boleh berlebihan dalam bersikap pasrah.
Menurut Haedar Nashir, selain sikap yang disebutkannya di atas, bagi muslim yang memiliki frame berpikir teologis juga tidak boleh memiliki sikap tazaku atau merasa dirinya paling suci. Sikap ini akan menjadikannya arogan dan abai terhadap realitas dengan mengatasnamakan agama.
Di sisi lain, ada kelompok yang terlalu mengandalkan ikhtiar yang instrumental sampai lupa mendekatkan diri kepada Allah SWT, menguatkan spiritualitas, dan dimensi ruhaninya juga dicampakkan. Menurut Haedar sikap ekstrim ini tidak boleh, karena antara ikhtiar dan doa harus menjadi satu kesatuan.
“Yang sering menjadi masalah itukan memisahkan kedua-duanya. Memisahkan cara berpikir yang rasional-ilmiah-duniawiyah itu dengan usaha yang spiritual-rohaniah dan ilahiah atau transendensi,” sambungnya.
Pada Pengajian Akbar Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PP Muhammadiyah yang diadakan pada (10/8) ini, Haedar Nashir menegaskan bahwa dalam Islam kedua entitas tersebut tidak boleh dipisah, melainkan berjalan beriringan saling mengisi.
Dalam konteks pandemi covid-19, Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengajak kepada civitas hospitalia Rumah Sakit Muhammadiyah-’Aisyiyah untuk menggunakan frame berpikir tengahan (washatiyah). Frame berpikir tersebut diharapkan bisa untuk menghadapi pandemi dengan seksama, baik, dan optimis.
“Coba kita letakkan cara berpikir itu antara langit dan bumi dalam satu harmoni berpikir yang washatiyah, yang tengahan,” sambungnya.
Merengkuh semangat hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, Haedar menyebut, bahwa hijrah yang dilakukan nabi bukan suatu pelarian ingin meninggalkan Kota Mekkah. Namun hijrah memiliki korelasi antara iman dengan jihad. Iman sebagai aspek transenden, dan jihad yang mengajarkan nilai kesungguhan dalam perjuangan.
Jihad tidak boleh dimaknai sempit. Berkaca dari semangat hijrah nabi, jihad bisa dimaknai sebagai etos yang membangun kehidupan, dicontohkan dengan membangun masjid, sampai membangun peradaban. Haedar menyebut, jihad al qital atau perang hanya 10 persen dari keseluruhan aktivitas nabi di Madinah selama 13 tahun.
“Tapi semuanya itu, jihad itu badlul-juhdi ada kesungguhan dalam perjuangan, mengerahkan segala kemampuan,” ungkap Haedar.
Maka semangat hijrah jika diletakkan dalam konteks penanganan pandemi, mampu menjadikan segala bentuk usaha yang dilakukan oleh RSMA dengan maksimal. Semangat membantu bukan hanya dilakukan sebatas ada dan eksistensi, melainkan ada dan dilakukan dengan sungguh-sungguh.