MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Pasca reformasi, arus deras amandemen Undang-Undang pada berbagai sektor terus berjalan, termasuk dalam sistem ketatanegaraan.
Salah satu yang dianggap paling gagal menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti adalah undang-undang menyangkut sistem pemilu, sistem keanggotaan DPR dan komposisi DPR/MPR.
“Karena itulah yang kemudian menjadikan banyak persoalan di negeri ini yang saya menyebutnya biasa diselesaikan tidak lebih dari 20 orang. Yaitu ketua-ketua Partai yang punya kursi di DPR, kemudian pimpinan pucuk tertinggi negara dan beberapa kalangan tertentu,” kritik Mu’ti.
Dalam forum Seminar dan Dialog 50 Tahun CSIS Indonesia, Senin (26/7) Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa banyak ilmuwan sosial dalam dan luar negeri yang menyoroti masalah ini. Sebab, kualitas kehidupan demokrasi yang sehat tidak akan berfungsi selama sistem seperti ini dipertahankan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menurut Mu’ti telah membaca masalah ini dan menggandeng para ahli untuk merumuskan solusi terbaik lewat forum tertinggi kedua Muhammadiyah setelah Muktamar, yakni Tanwir Samarinda tahun 2014.
Lewat rumusan Indonesia Berkemajuan, Muhammadiyah menganggap ada beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan, salah satunya adalah amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945.
“Muhammadiyah ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara walaupun tentu saja dengan kewenangan-kewenangan yang tidak sama persis dengan Undang-Undang yang asli sebab kelembagaan negara seperti MPR ini diperlukan ketika suatu negara dalam kondisi tertentu, misalnya saat Indonesia mengalami krisis,” terang Mu’ti.
Selain itu, Mu’ti menilai sistem pemilu harus dirancang ulang agar benar-benar menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar berkeahlian dan bukan terpilih atas modal popularitas semata.
“Kita lihat problem yang memang sangat serius dengan kualitas anggota DPR itu karena memang semua bergantung pada jumlah suara dan dalam hal tertentu memang ada persoalan di dalam sistem pemilihan di mana memang figur-figur populis yang belum tentu memiliki kualitas itulah yang terpilih. Dan itu realitas yang memang tidak bisa kita nafikan,” kritiknya.
Abdul Mu’ti juga menganggap bahwa perubahan itu harus memperhatikan porsi untuk perwakilan minoritas yang selama ini tidak terakomodasi melalui sistem pemilu. Hal ini dianggap penting untuk menciptakan demokrasi yang sehat.
“Dengan komposisi anggota MPR yang 100 persen DPR dan 100 persen DPD kenapa tidak ada ruang untuk kelompok minoritas untuk bisa terwakili dalam lembaga yang bernama MPR itu? Karena semuanya dipilih dan semuanya mengikuti rumus suara terbanyak,” tambahnya.
“Oleh karena itu kadang-kadang kita bisa melihat komposisi yang ada di dalam MPR yang lama di dalam Undang-Undang yang lama itu saya kira perlu kita kembalikan tentu dengan beberapa perumusan baru,” tutup Mu’ti.