MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kemudahan dan keterbukaan akses teknologi digital membuat berbagai kelompok berusaha menciptakan informasi yang mendukung kepentingannya masing-masing.
Pada pembatasan sosial di masa pandemi, kelompok-kelompok politik maupun radikal menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti lebih diuntungkan untuk menawarkan gagasannya ke ruang publik.
Pada banyak kasus, masing-masing narasi itu bahkan menjadi rivalitas dan pertarungan baru di media sosial.
“Ini tanpa kita sadari. Saya juga mempelajari dengan sangat seksama, bagaimana ketika mobilitas (fisik) itu terbatas, mobilitas di media sosial ini tidak bisa dibendung dan ini sebetulnya memberikan keuntungan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang mereka ini tidak punya lembaga sosial, tidak punya jaringan sosial, tapi kemudian mereka bisa tampil luar biasa karena memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan akses informasi itu,” jelasnya.
Dalam forum diskusi Kanal Convey Indonesia, Jumat (23/7) Mu’ti mengkritik kelompok moderat yang kurang bergairah dalam melemparkan gagasannya di media sosial.
“Sehingga kalau saya boleh jujur, kekuatan-kekuatan kelompok konservatif itu kan ada pada kemampuan mereka menggunakan media sosial karena sekali lagi mereka tidak punya lembaga sosial dan tidak punya struktur yang memungkinkan mereka melakukan gerakan yang berbasis masa,” ungkapnya.
“Karena tidak bisa melakukan gerakan masa itu, maka pilihannya adalah melakukan gerakan berbasis media yang internet sebagai mediumnya. Dan karena itu kelompok-kelompok ini sudah sejak lama menggunakan jaringan itu. Mereka memproduksi konten-konten yang memang dalam beberapa hal saya akui lebih kreatif, dalam beberapa hal lebih mudah dipahami dan dalam beberapa hal mereka juga melakukan upaya-upaya penetrasi walaupun tidak harus melalui buzzer-buzzer yang dibayar. Ini sesuatu yang luar biasa karena adanya militansi itu,” terang Mu’ti.
“Karena itu satu orang misalnya bisa punya 10 akun dan kalau masing-masing bisa ikut 10 grup WA dan masing-masing grup WA itu ada 250 orang misalnya, maka dalam hitungan detik dia bisa menyebarkan satu informasi itu kepada 2500 orang. Nanti belum lagi di dalam grup itu ada yang tertarik menyebarkan lagi dan seterusnya,” kata Mu’ti mencontohkan.
Abdul Mu’ti lalu menceritakan kesaksiannya terhadap beberapa kelompok maupoun orang yang konsisten memposting berbagai tulisan tentang vaksinasi adalah konspirasi, Covid-19 tidak nyata, pemerintah Indonesia anti Islam dan Komunis, pemerintah diback-up China dan sebagainya.
“Itu tiap hari dia bikin. Perkara orang baca atau tidak itu tidak menjadi soal bagi dia. Yang penting dia sudah melakukan itu dan sekali kirim, ‘jret’ bisa dilakukan dengan cara yang sangat cepat,” imbuhnya.
“Nah sementara kelompok-kelompok yang disebut moderat dan progresif ini mereka moderat dan progresif dalam pemikiran, tapi mereka tidak moderat dan progresif dalam melakukan gerakan. Ini problemnya yang sekarang terjadi,” pungkas Mu’ti.