MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Pasca reformasi 1998, Indonesia dihadapkan dengan berbagai arah perubahan sosial, demokratisasi masyarakat, liberalisme hingga pengerasan agama.
Pada kasus revivalisme agama, kelompok-kelompok agama dengan pendekatan lil mu’aradhah (konfrontasi) bermunculan baik dari latar belakang ideologi Salafisme, Syiah hingga Asy’ariyah.
“Arus revitalisasi agama itu kecenderungannya bertransformasi pada berbagai macam arus. Ada yang sangat ke kanan dan ada yang sangat ke kiri,” jelas Haedar Nashir, Ahad (23/5).
Sebagian kelompok itu tetap eksis hingga sekarang. Dalam wacana politik, kelompok-kelompok ini lebih mudah ditemukan dalam bermacam pertarungan wacana ideologis di media sosial.
“Revitalisasi agama sebenarnya juga membawa pada proses bangkitnya berbagai agama, paham agama dan pratek agama yang hadir sebagai respon terhadap realitas kehidupan yang dianggap chaos, dianggap banyak hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini,” jelasnya.
Di masa digital dan pandemi, gejala revivalisme dan revitalisasi agama dirasakan ikut menguat. Muhammadiyah diharapkan Haedar Nashir tidak terpengaruh dan tetap menjalankan dakwah penuh hikmah yang memakai pendekatan lil muwajahah (kultural) bukan lil mu’aradhah.
“Nah semua itu tentu menjadi tantangan kita bagaimana memproyeksikan fungsi dan misi dakwah dan tajdid kita Muhammadiyah dalam konteks kehidupan yang dinamis, bahkan dalam batas tertentu dalam realitas baru,” terangnya.
Pendekatan muwajahah dan tajdid itu lebih-lebih harus ditampilkan oleh orang Muhammadiyah sendiri dan difokuskan pada warga Muhammadiyah sebelum menyasar warga non Muhammadiyah.
“Tapi juga sebagai kritik sebagian orang bagaimana pikiran-pikiran besar ini tidak hanya keluar, tapi juga menyinari warga Muhammadiyah,” imbuh Haedar.
“Di situlah pentingnya silaturahmi yakni mengoneksikan alam pikiran kita, jiwa kita, sikap kita, dan tindakan kita dengan sistem organisasi,” pungkasnya.