MUHAMMADIYAH.ID, LEBANON – Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon Hadjriyanto Y Thohari mengritik pihak yang menyebut bahwa masalah negara Palestina dengan gerombolan Israel adalah konflik atau sebatas perang perebutan lahan.
Meninjau dari perspektif politik dan historis, Hadjriyanto menyebut pendapat itu terlampau menyempitkan masalah riil yang sedang terjadi.
“Apa yang terjadi di Palestina bukan konflik antara Israel dan Palestina. Bahkan ada yang menyebut perang, atau bahkan perang dengan Hamas. Padahal itu bukan konflik, kalau toh disebut perang, maka itu perang yang asimetris (tidak seimbang) karena yang satu itu negara lengkap dengan angkatan bersenjatanya,” kritik Hajriyanto dalam forum diskusi daring Lazismu Pusat, Jumat (21/5).
Secara legal sebagai sebuah negara, Palestina sendiri menurut Hadjri tidak memiliki angkatan militer. Palestina hanya memiliki polisi dan senjatanya pun adalah pentungan. Adapun kelompok Hamas, membuat senjata pertahanan diri tanpa teknologi apapun.
Hadjriyanto merasa resah karena di Indonesia mulai muncul pihak-pihak yang mengeluarkan wacana tandingan bahwa Indonesia harus netral dalam melihat masalah Palestina. Wacana itu menurutnya tak berkesesuaian dengan jatidiri bangsa yang telah ditetapkan para pendiri bangsa.
“Ini sangat tidak simetris, bukan konflik. Tapi penjajahan. Bukan sekadar penjajahan, tapi (politik) apartheid. Itu kata Joseph Massad, doktor di Columbia University,” jelas Hadjri mengutip seorang ilmuwan Kristen asal Palestina.
Indonesia sejatinya tetap konsisten membela Palestina. Pada sidang PBB 20 Mei kemarin, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan bahwa penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina harus segera diakhiri.
“Pemilihan terminologinya saja berani, bukan konflik, bukan, tapi penjajahan. Konflik kedua bangsa ini bersifat asimetris,” imbuh Hadjri mengutip pernyataan resmi Indonesia yang diwakili oleh Menlu.
“Maka Indonesia mengusulkan penempatan pasukan perdamaian dan melindungi status Masjid Al-Aqsha. Langkah kedua, memastikan akses kemanusiaan dan perlindungan masyarakat sipil (Palestina). Langkah ketiga, mendorong dimulainya perundingan multilateral yang kredibel,” tambahnya.
Terakhir, Hadjri mengajak masyarakat Indonesia terus mengawal konsistensi posisi Indonesia terhadap Palestina untuk mencegah menangnya narasi-narasi yang tidak sesuai dengan pembukaan UUD 1945 terkait masalah penjajahan.
“Kita perlu sekali menggalang terus solidaritas untuk bangsa Palestina. Dalam panggung-panggung, dalam wacana karena di mana-mana mulai ada wacana tandingan yang setidak-tidaknya membawa kita pada posisi netral karena itu urusan perang, tanah dan sebagainya,” tutup Hadjri.