MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA– Berlandaskan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah, peran yang dilakukan oleh perempuan tidak dimaksudkan untuk berkompetisi dengan laki-laki, melainkan menjadi komplemen bersama laki-laki. Karena kehidupan kemanusiaan ini diisi laki-laki dan perempuan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PP `Aisyiyah, Siti Noordjanah Djohantini pada (27/4) dalam Pengajian Ramadan 1442 yang diadakan oleh Unisa Yogyakarta dengan tema “Agenda Praksis Perempuan Berkemajuan“.
Melalui forum pengajian ini, Noordjanah menginggat kepada semua civitas akademik yang bernaung di bawah Aisyiyah secara langsung maupun di bawah Muhammadiyah untuk senantiasa beridentitas dakwah amar ma`ruf nahi mungkar dan tajdid. Bahkan, imbuh Noor, semua warga persyarikatan termasuk yang kultural, identitas tajdidnya tidak boleh luntur.
Ia juga berpesan, dalam forum pengajian yang diselenggarakan oleh setiap level pimpinan di persyarikatan, hendaknya dijadikan sebagai kesempatan untuk refleksi gerakan yang telah dilakukan, serta mencharge kembali semangat dan pengetahuan tentang keislaman dan kemuhammadiyahaan.
“Di dalam kajian-kajian official Muhammadiyah-Aisyiyah itu topik-topiknya untuk memperkokoh dengan landasan pandangan Islam Berkemajuan,“ imbuhnya.
Noor menjelaskan, konsep gerakan Islam Berkemajuan merupakan mutiara pemikiran dari KH. Ahmad Dahlan yang didukung dengan dokumen resmi organisasi, serta kemudian dikontekstualisasikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Islam Berkemajuan dicitakan untuk memberi sinar di kehidupan yang sarat akan perubahan.
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dengan pemikiran dan gagasan maju mampu menghadirkan kiprah dan kontribusi sampai sekarang ini. Mengutip QS Ar Ra`du ayat 11, Noordjanah menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi dalam lingkup masyarakat yang luas dimulai dari diri sendiri dahulu.
Gagasan Islam Berkemajuan yang dicetuskan oleh Kiyai Dahlan membantu menyinari perempuan yang pada zaman itu posisi terpuruk, dan dianggap sebagai manusia kelas `dua` atau dipinggirkan secara kultur, struktur, dan pandangan keagamaan. Karena itu kehadiran Aisyiyah adalah untuk menyinari dengan semangat rahmatan lil alamiin.
“Kesejarahan kehadiran Aisyiyah itu tidak bisa dilepaskan dari pandangan-pandangan maju dari Kiyai Dahlan dengan para pendahulu, sekaligus juga oleh Nyai Walidah. Membaca sejarah mereka kita harus merefleksikan, merenungkan, dan memberi makna.“ tuturnya
Noor kembali menegaskan, bahwa tajdid sebagai identitas warga persyarikatan hars bisa dikontekstualisasikan. Menurutnya, ini sebagai identitas tajdid tidak boleh lepas, karena di saat ini gerakan dakwah amar ma`ruf nahi mungkar sudah banyak. Identitas ini juga sebagai pembeda antara Muhammadiyah dengan ormas lain dalam menerapkan dakwah nahi mungkarnya.