Oleh: Affandi
Perkembangan teknologi berdampak pada kehidupan spiritual manusia. Apakah ilmu pengetahuan dan sains tidak mampu menawarkan jawaban atas kehidupan yang semakin kering nilai?
Shamsi Ali, tokoh Muhammadiyah yang sekarang tinggal dan menjadi Imam di New York, Amerika Serikat mengatakan bahwa Pesantren Muhammadiyah harus bisa menjawab pertanyaan pelik tersebut.
Dalam webinar yang diselenggarakan LP2PPM (Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren PP Muhammadiyah) pada Jumat (29/1) Shamsi Ali mendukung pesantren Muhammadiyah sebagai pusat kaderisasi ulama.
Tetapi, Ia mengingatkan bahwa menjadi ulama tidak lagi cukup sekedar cakap dalam teks-teks tradisi keagamaan. Jadi ia mengatakan bahwa pesantren Muhammadiyah harus bisa melahirkan ulama yang punya pengetahuan luas. Karena tantangan bagi ulama hari ini adalah mengejar ketertinggalan dalam kemajuan peradaban.
Shamsi Ali mengatakan ada tujuh hal penting dalam pengembangan kaderisasi ulama Muhammadiyah.
Pertama, pesantren Muhammadiyah harus membangun wawasan global, yaitu kesadaran bahwa kehidupan di zaman ini serba cepat, mudah berubah, kompetitif dan sempit.
Kedua, pesantren Muhammadiyah sebagai pusat pengokohan iman dan karakter tidak boleh kehilangan fondasi ruhiyahnya yang bersifat nyata.
“Iman itu harus visible (terlihat) dengan karya dan inovasi (amal saleh). Dan buah-buahnya memberi manfaat luas bagi manusia,” jelas Shamsi Ali.
Ketiga, pesantren Muhammadiyah harus membangun kesadaran aqliyah (akal, pemikiran, logika, rasionalitas) yang tajam dan luas sebagaimana semangat Islam yang mengedepankan ilmu yang dipandu oleh wahyu.
Shamsi Ali menilai bahwa metode pedagogi (pengajaran) yang dogmatis sudah saatnya digeser kepada metode yang lebih mengajak berpikir kritis dan memecahkan masalah.
“Tentu dengan catatan bahwa rasionalitas itu adalah pertimbangan akal yang tidak liar (wild thinking) tanpa arah. Dan itu akan terjadi ketika pemikiran manusia tidak dikendalikan oleh wahyu Samawi,” terang Shamsi.
Keempat, di hadapan tokoh pendidik dan pimpinan pondok pesantren Muhammadiyah se-Indonesia Shamsi Ali menilai bahwa pesantren harus mampu melahirkan ulama yang memiliki kemampuan komunikasi handal, termasuk cultural adjustment (penyesuaian budaya) yang kadang berbeda, juga kemampuan bahasa yang handal.
“Diakui atau tidak, salah satu kekurangan (handicap) Ulama Indonesia adalah kemampuan komunikasi, khususnya penguasa bahasa asing, yang lemah. Bahkan mereka yang pernah belajar di luar negeri sekalipun, anggaplah Timur Tengah, bahasa Arabnya rata-rata bersifat bahasa pasif,” tuturnya.
Kelima, Pondok pesantren menurutnya perlu mempersiapkan keilmuan yang bersifat inovatif dan pro-aktif yang dapat merespon kepada kebutuhan dunia. Bukan keilmuan yang bersembunyi di balik gelar akademis yang banyak saja.
“Pemahaman yang inovatif dan pro-aktif dari ayat ini adalah bahwa orang-orang Islam itu harus mampu menghadirkan kemudahan di saat manusia menghadapi kesulitan. Bukan sekedar percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan,” jelasnya.
Keenam, pondok pesantren Muhammadiyah menurutnya harus membangun lingkungan yang mampu mengembangkan pemikiran yang berkemajuan alih-alih mewariskan pemikiran yang taklid semata tanpa ada ruang untuk menimbang.
Pemikiran yang berkemajuan itu jelasnya akan terlihat pada kemampuan dan keberanian para santri untuk berijtihad, termasuk di dalam keilmuan Islam.
Terakhir, pondok pesantren harus membangun suasana di mana santri-santriyah mampu membangun self-confidence (rasa percaya diri) yang tinggi untuk aktif dalam pemecahan masalah di berbagai tingkatan komunitas dengan membawa rasa rendah hati.
“Agar bangsa Indonesia mampu memainkan peranan signifikan dan diakui oleh dunia global, rasa minder (inferioritàs) yang sejak lama menjangkiti bangsa ini harus dirubah. Sudah saatnya membangun percaya diri bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang potensial dan mampu sebagaimana bangsa besar lainnya,” jelasnya.
Tujuh poin di atas juga adalah syarat supaya ilmuan dan Ulama Indonesia berani tampil di pentas global.
Menurut Shamsi Ali, ilmuwan Indonesia sering merasa inferior dengan ilmuwan Barat. Sementara ulama Indonesia sering merasa inferior dengan ulama Timur Tengah. Padahal, banyak ilmuwan dan ulama asal Indonesia sudah berkiprah dan berprestasi di tingkat internasional.
“Di sinilah kemudian Pesantren memiliki peranan krusial dan signifikan untuk mewujudkan semua itu,” tegas Shamsi Ali. (afn)
Editor: Fauzan AS