MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Ki Hajar Dewantoro terkait dengan pendidikan memiliki gagasan tetang Tri Pusat Pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Namun di era revolusi 4.0 sekarang, gagasan pendidikan itu sedang di challenge. Pasalanya, lingkungan pendidikan selain tiga yang disebutkan diatas, saat ini terdapat ‘lingkungan’ baru yaitu media sosial dan platform digital lain yang secara umum disebut lingkungan digital.
Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam, Abdul Mu’ti menjelaskan, awal mula teknologi informasi adalah alat untuk membantu meringankan atau mempermudah pekerjaan maupun interaksi manusia. Namun dalam perkembangannya, teknologi terus berevolusi, bahkan menjadi ‘organisme’ tersendiri.
“Teknologi itu tidak hanya menjadi alat, tapi lama-lama teknologi itu menjadi ‘juragan’ menjadi ‘bos’nya manusia,” kata Mu’ti pada Selasa (23/2) dalam acara bincang pendidikan bersama Prof Suyanto.
Karena cepat dan majunya teknologi tersebut, sampai-sampai teknologi bisa membaca pikiran manusia. Kemajuan ini, ucap Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini, adalah suatu hal yang positif, namun juga tidak bisa dikatakan tidak ada sisi negatifnya.
Interkasi melalui internet bukan hanya menggeser pola interaksi manusia, tapi di level yang lebih tinggi internet juga mengubah kehidupan manusia. Perubahan itu terlihat dari pola pikir yang manusia yang eklektik atau dangkal. Persingunggan yang terjadi antara manusia dengan media digital menjadikannya tidak bisa berpikir reflektif-filosofis.
Dampak lain dari efek ‘shallow’ media baru (internet), kata Mu’ti, adalah orang tidak lagi mencari kebenaran, melainkan yang mereka cari adalah pembenaran. Media baru ini juga menimbulkan adanya virus baru yaitu virality virus (virus viral), popularitas diri di media sosial kemudian dijadikannya sebagai matapencaharian.
“Karena orang begitu pragmatisnya, upload konten-konten yang penting ditonton oleh banyak orang, dia tidak berpikir itu mendidik atau tidak. Inilah sisi negatif dari virality virus,” ucap Mu’ti
Karena itu ia meminta supaya sisi positif media sosial harus diperkuat, dan sisi negatifnya harus diantisipasi. Teknologi informasi sebagai sebuah keniscayaan, maka mengharuskan peserta didik memiliki kecerdasan teknokratik, sebagai sebuah kecerdasan yang berkaitan dengan pengunaan teknologi dengan benar, bertanggung jawab, dan memanfaatkannya secara positif.