MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGAYAKARTA — Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh penting dalam melawan penjajahan Belanda. Lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916, ia dibesarkan dalam lingkungan budaya dan tata krama Jawa priyayi. Di masa-masa mudanya selain bersekolah, Soedirman muda sudah aktif di organisasi Kepanduan Hizbul Wathan (HW).
“Pak Dirman mulai tertarik dengan kepanduan HW semenjak mengenyam sekolah di Cilacap. Beliau tidak ingin menjadi anggota organisasi yang hanya ikut-ikutan. Karena itu, Pak Dirman mempelajari janji dan Undang-undang HW dengan saksama,” tutur Teguh Soedirman dalam diskusi daring pada Ahad (25/01).
Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Kepanduan HW ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Sebagai kader HW ini, Soedirman muda ditempa militansinya dan sudah mulai tertanam nilai-nilai cinta tanah air.
“Soerdirman muda menjalani dan memahami HW sehingga menumbuhkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan, kepahlawanan dan semangat mengorbankan diri untuk membela kemerdekaan bangsa dan negara. Itu merupakan cita-cita Soerdirman muda,” ungkap Teguh.
Putra dari Soedirman ini juga mengungkapkan bahwa selain terbangun jiwa militansi, HW juga berperan besar dalam membentuk kepribadian seorang muslim pada diri Pahlawan Nasional ini.
“Beliau selalu patuh terhadap keputusan musyawarah. Tahun 1939, Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta, Pak Dirman mengusulkan agar pandu HW memakai celana panjang agar lebih memudahkan jika waktu salat tiba tinggal ambil wudhu dan menunaikan salat. Saran Pak Dirman akhirnya diterima,” ungkap Teguh.