MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Seringkali jelang akhir tahun isu intoleransi menguat. Tertuama isu itu ditujukan pada kaum puritan yang dinilai intoleran. Padahal Muhammadiyah sendiri sejatinya menunjukkan banyak toleransi. Karena memang sejak awal Muhammadiyah hadir untuk menyuarakan Islam yang memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Misalnya saja dibidang pendidikan, salah satu pengalaman Rita Pranawati, Komisioner KPAI saat menjadi Dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta (Uhamka) adalah mengajar mahasiswa non muslim.
“Saya sendiri sebenarnya dari tahun 2017 sudah mengajar siswa-siswa non muslim yang sejauh ini mungkin banyak tidak terceritakan ke public. Sebenarnya kita didalam kelas bercerita bagaimana sebenarnya kehidupan satu agama dengan agama lain misalnya,” ujar Rita, dalam Diskusi Rahma.ID ‘Muhammadiyah Rumah Besar Toleransi’, Rabu (23/12).
Rita melanjutkan toleransi terkadang menjadi seolah-olah tak terlihat karena kita yang jarang mengalami perjumpaan dengan teman yang berbeda. Yang sebenarnya, perjumpaan itu bisa mengikis asumsi dan kecurigaan. Bahkan, bisa memperlihatkan bahwa kita sebagai manusia memiliki banyak kesamaan.
“Maka, kita merayakakan perbedaan untuk mendukung isu-isu kemanusiaan yang sebenarnya banyak sekali pekerjaan rumah kitaa. Ini menjadi penting karena sekali lagi perjumpaan akan mengikis kecurigaan dan sebenernya kita semua punya persamaan untuk membangun Indonesia yang baik dan tak ada lagi kecurigaan karena sesungguhnya kita semua beragam dan isu kemanusiaan itu isu kita Bersama dan membutuhkan sentuhan kita semua,” jelas Rita.
Karakter Keislaman Muhammadiyah
Sementara itu, Azaki Khoiruddin, CEO IB Times menyatakan bahwa karakter keislaman Muhammadiyah itu puritan yang pluralis. Hal ini merujuk pada beberapa riset yang ditemukannya.
Seperti, riset Alwi shihab kelahiran Muhammadiyah itu ada dinamika local untuk membendung kristenisasi atau berfastabikhul khairat dalam bidang Kesehatan. Mitsio Nakamura menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reislamisasi masyarakat jawa tetapi dalam prakteknya Muhammadiyah bisa bertahan survive bahkan suistanable di Kotagede tetapi Muhammadiyah bisa toleran dan survive disitu. Desertasi Munir Mulkan juga menyebutkan bahwa Islam murni Muhammadiyah bisa bernegosiasi masyarakat dan membentuk varian-varian.
“Sejatinya, toleransi di Muhammadiyah adalah cita-cita dan mimpi besar harus terus dirawat,” kata Azaki.
Puncak dari keberagamaan itu, lanjut Azaki, ialah akhlak. Puncak dari agama adalah ma’rifatullah itu akhlak yang baik. Akhlak yang baik itu adalah silaturrahm. Silaturrahim adalah memasukkan cinta kepada orang lain.
“Oleh karena itu orang itu semakin puritan, semakin religious bisa dilihat dari akhlaknya. Pentinglah kita mendahulukan akhlak (etika) daripada teologi,” pungkasnya.