MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Akar toleransi di Muhammadiyah sudah ditanam oleh KH. Ahmad Dahlan, yang sejak awal ingin mengembangkan Islam berdampingan sebagai lawan berlomba dalam kemajuan dengan Kolonial.
Direktur Ma’arif Institue, Abd Rohim Ghazali menyebut, karena keinginan tersebut, KH. Ahmad Dahlan dimusuhi oleh pihak otoritas muslim dan kaum muslim masa itu. Karena sikapnya tersebut, KH. Ahmad Dahlan oleh para pembencinya disebut sebagai Kristen-Jawa.
“Karen dengan dalil Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum, dan Kiyai Dahlan ini dianggap sahabat sebagai orang Kristen.” tuturnya pada (24/12) dalam acara Diskusi “Muhammadiyah: Rumah Besar Toleransi”.
Menurutnya, bagi siapa saja yang membaca sejarah KH. Ahmad Dahlan, terlebih orang Muhammadiyah akan menghayati betul bagaimana toleransi itu dibangun sejak awal berdirinya.
Muhammadiyah meskipuun disebut sebagai persyarikatan atau perkumpulan, tapi pada hakekatnya Muhammadiyah adalah organisasi gerakan. Karena sebagai organisasi gerakan, Muhammadiyah mewujud dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
“Sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan kita tidak pernah melihat organisasi Muhammadiyah tidak memiliki Amal Usaha. Bahkan sebenarnya setiap ranting berdiri itu disyaratkan ada satu amal usaha,” tuturnya.
Bakat Toleran yang Diwariskan Kiai Dahlan
Amal usaha ini yang kemudian menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang terbuka. Karena Amal Usaha Muhammadiyah meniscayakan keterbukaan kepada siapa pun. Abd Rohim mengambarkan, jika ada orang sakit datang berobat di RS Muhammadiyah tentu tidak perlu ditanya dulu agamanya.
Oleh karena itu di daerah minoritas Islam, Muhammadiyah berkembang dan tidak pernah terdengar ada penolakan terhadap kehadiran lembaga pendidikan milik Muhammadiyah dari masyarakat non-muslim.
Karenanya dia juga merasa aneh, jika ada orang yang mengaku Muhammadiyah tapi melakukan penolakan terhadap pendirian rumah ibadah dari agama lain di suatu daerah.
“Jadi secara historis Muhammadiyah didirikan oleh Kiyai Ahmad Dahlan yang toleran, dan dalam aksi sosial kemasyarakatan Muhammadiyah berkembang di tengah masyarakat yang majemuk, yang tidak pernah membeda-bedakan dalam meberikan pelayanan,” tegasnya
Sikap terbuka yang dilakukan oleh Muhammadiyah, secara tidak langsung juga ingin menunjukkan bahwa Islam di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari keindonesiaan yang mejemuk. Maka, antara keislaman dan kebangsaan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.