MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA– Terkait dengan literasi di kalangan Muhammadiyah, Yudi Latif menyebut anak-anak kalangan Muhammadiyah adalah anak ‘kitab putih’. Jadi kalau disamakan, Muhammadiyah itu seperti Protestannya Kristen.
Istilah tersebut erat kaitannya dengan tradisi cetak. Dengan adanya teknologi percetakan, kitab lama atau manuskrip yang awalnya hanya bisa diakses oleh kalangan elit agamawan kemudian bisa diakses begitu luas pada semua lapisan.
“Ketika manuskrip berubah menjadi buku yang aksesable bagi kaum awam, masyarakat awam itu kita sebut sebagai kitab putih,” jelasnya pada Sabtu (19/12).
Dalam tradisi Weberian, kutip Latif, kebiasaan orang beragama yang mampu keluar dari jebakan manuskrip dan beralih kepada buku-buku yang aksesable (kitab putih) merupakan pemicu kemajuan suatu peradaban.
Sejarah kemajuan literasi di Eropa erat kaitanya dengan kebiasaan orang awam membaca Bible. Mesin cetak yang digunakan untuk menggandakan manuskrip termasuk Kitab Suci, merupakan cikal bakal kuatnya tradisi literasi di Eropa.
“Itulah yang ‘merembes’ menjadi tradisi literasi yang kuat, terutama dalam lingkungan Protestan yang men-drive kemajuan di Barat,” tuturnya.
Lemahnya Tradisi Literasi
Namun di sisi lain, Yudi Latif juga bertanya perihal lemahnya tradisi literasi di kalangan umat muslim.
Menurutnya jumlah cetakan yang melimpah tidak berbanding lurus dengan tradisi literai di kalangan umat muslim. Meskipun saat ini semakin banyak Al Qur’an maupun terjemahannya telah di cetak dan meluas, tapi tidak bisa ‘merembes’ menjadi tradisi literasi yang kuat di kalangan umat muslim.
“Apa yang terjadi, padahal justru pengkondisian kita terbiasa membaca kitab itu harusnya menjadi basis memperkuat literasi dalam berbagai bidang,” katanya.
Maka Jangan heran, dahulu hampir semua orang yang berpendidikan modern lebih tertarik dengan Muhammadiyah.
Menurut Yudi Latif, daya tarik Muhammadiyah bagi para cendikiawan dahulu adalah gerakan literasinya, karena Muhammadiyah menawarkan berbagai karya tulis yang mampu dibaca oleh orang-orang berpendidikan modern ini.
“Itu sebabnya kenapa dulu hampir semacam aksioma, orang yang berpendidikan modern Barat kalau kemudian harus aktif di dalam keagamaan secara tidak langsung mereka sangat bersimpati meskipun pasif, itu menjadi pendukung Muhammadiyah,” urainya.
Ia juga mengingatkan bahwa tradisi literasi, dan modernisasi itu bagian integral dari kemuhammadiyahan.