MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Muchtar menyebut korupsi yang kini semakin tidak terbendung di Indonesia karena kegagalan masyarakat sipil mengambil alih pasca jatuhnya Rezim Soeharto di tahun 1998 sehingga oligarki yang tampil memainkan demokrasi.
Menurut Zainal Arifin Muchtar ada tiga hal yang membuat korupsi masih berkelindan (erat menjadi satu) di Indonsia.
Pertama adalah kualitas regulasi dan birokrasi yang buruk. Ini kata Zainal Arifin ditulis dari tahun 2006 berdujul ‘Bureaucratic Corruption In Soustheast Asia’, salah satunya Indonesia.
Kedua, penegakkan hukum yang lemah dan tidak independen. Hal ini mengakibatkan Indonesia punya masalah dengan penegakkan hukum yang lemah dan tidak independen itu membuat praktik korupsi tinggi.
Ketiga adalah warisan sistem oligarki. Kata Dosen FH UGM hal itu dikuatkan oleh tulisan Barter, 2008 dalam ‘The Danger of Decentralization. Clientalism, the State & Nature Democatic Indonesia’.
“Dari tiga konteks ini kalau kita kalau baca bukunya Vedi R. Hadiz, kita mengalami kegagalan melakukan konsolidasi demokrasi,” sebut Zainal.
Jadi setelah Soeharto jatuh, Vedi Hadiz bilang saat keemasan Indonesia untuk melakukan konsolidasi masyarakat sipil di tahun 1998 bulan Mei- Agustus.
“Sayangnya kita gagal, masyarakat sipil gagal berkonsolidasi karenanya sebaliknya oligarki lah yang mampu menkonsolidasikan dirinya,” kata Zainal.
Sehingga meraka (red, oligarki) bisa bersalin rupa lalu kemudian mendistorsi masa transisi Indonesia sampai sekarang. Apa yang dimaksud transisi kata Zainal Arifin lebih jauh menampaikan ada dalam bukunya Juan Linz.
“Jadi Juan Linz bicara soal transisi dari zaman otoritarian menuju ke arah demorkasi yaitu transisi Soeharto menuju ke arah keinginan negara untuk melakukan konsolidasi demokrasi,” urainya.
Nah salah salah satu faktornya disebut Vedi R. Hadiz adalah oligarki mampu mengkonsolidasikan dirinya sehingga aktor-aktor yang dulunya menyokong Soeharto itu dengan mudah bersalin rupa menjadi aktor-aktor yang membicarakan soal reformasi.
“Dan itulah barangkali sebabnya bahwa demokras kita mengalami semacam demokrasi semu,” kata Zainal menjelaskan.
Lebih jauh Zainal menyinggung Juan Linz mengenai transisi otoritarian menuju ke demokrasi Indonesia itu seperti jalan yang berangin dalam istilahnya Juan Linz. Kadang- kadang kalau kita jalan diangin itu binggung kita melangkah terus ke depan karena ber-angin kita dibingungkan dan mengalami apa yang dinamakan Putaran –U (putaran berbalik arah) yaitu berjalan ke depan tetapi sebenarnya kita mengalami putaran balik ke arah serupa.
“Tentu berbalik arah yang dimaksud tidak mungkin sama seperti otoritarian dulu tetapi bisa jadi menuju ke arah noe- otoritarianisme,” kata Zainal Arifin.
Kondisi ini singgung Zainal Arifin menyebabkan tanda-tanda demokrasi Indonesia semu, akhirnya demokrasi dibajak menjadi demokrasi yang sangat prosedural tetapi substansinya hilang.
“Misalnya kita pilih DPR, kita pilih Presiden tetapi apa yang dilakukan oleh mereka berdua jauh dari apa yang diinginkan oleh publik,” jelasnya.
Paparan tersebut disampaikan Zainal dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah “Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya” pada Jum’at, (11/12/2020). (Andi)
Hits: 41