MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Banyaknya informasi di media sosial membuat kita harus lebih berhati-hati dalam mengonsumsi berita yang benar dan tidak benar. Jika kita termakan oleh berita yang salah akan menimbulkan akibat fatal, seperti ketakutan-ketakutan hingga toxic positivity.
“Jadi disatu sisi kalau konten media ini keliru maka bisa menimbulkan ketakutan. Disisi yang lain kalau konten medianya itu mengatakan ini takdir Allah maka sabarlah, pasrahlah, yang terkena covid ini tidak pandang bulu, pokoknya Allah yang menentukan jadi lakukan saja kegiatan seperti biasa, jangan takut beribadah ke masjid karena Allah yang menentukan. Jangan takut menyembelih hewan di tempat terbuka tanpa prokes yang ketat karena toh Allah yang menentukan jadi sabar, serahkan semuanya kepada Allah. Lalu kemudian orang merasa bahwa Allah yang menentukan semuanya dan mereka melakukan banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan, ini namanya toxic positivity,” tutur Yayah Khisbiyah, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) saat dihubungi redaksi Muhammadiyah.or.id, Rabu (21/7).
Menurutnya, banyak sekali masyarkat yang berpandangan bahwa tidak apa-apa berjamaah di masjid justru akan menambah imun dan tetap memakmurkan masjid malah akan di dilindungi Allah karena tidak tergolong umat yang menghabat ibadah umat Islam. Padahal hal semacam itu justru menyebabkan toxic positivity yang mengabaikan aspek-aspek saintifik dan justu sangat beresiko. Hal itu diperburuk juga dengan sekarang banyak imam masjid, dai, ustad yang justru bertentangan dengan kebijakan Pemerintah bahkan fatwa MUI dan majelis tarjih dan tajdid.
Maka diperlukan pendekatan khusus menangani hal tersebut. Yayah mengatakan paling tidak Pemerintah atau ormas melakukan minimal briefing atau workshop sehingga fatwa dan kebijakan ini tidak dianggap sebagai top down yakni kebijakan yang dibuat dari atas kebawah tanpa melibatkan mereka. Jika hal itu dilakukan maka rasa kepemilikan terhadap fatwa itu mungkin berbeda.
“Tapi toh pun begitu kalau saya mencermati bagaimana tingkat keberagamaan mayoritas umat Islam yang lebih banyak cenderung literal tekstual dan lebih mengedepankan ritual simbolis terus terang memperihatinkan. Melihat bahwa masyarakat kita dan pemimpin umat di tingkat yang bermacam-macam bahkan terjadi di kalangan menengah ke atas,” terangnya.
Apabila kita tetap memaksakan pandangan-pandangan yang salah padahal konsisi pandemic covid-19 ini sudah sedemikian runyamnya dengan kata lain kita seperti silent killer, karena resikonya mengancam nyawa banyak orang dan penularan yang semakin tinggi.
Maka dari itu Yayah berharap tokoh, pimpinan, aktivis, akedemisi, cendekiawan, termasuk mahasiswa Muhammadiyah yang punya pendidikan tinggi dan tercerahkan itu mampu membuat kegiatan-kegiatan, program ataupun konten di media sosial untuk lebih mengarahkan masyarakat kita/umat kita untuk mengadopsi pendekatan keagamaan yang irfani yakni keberagamaan yang reflektif, dan juga rasional dengan mengintegrasikan antara keyakinan keagamaan keimanan kita dengan keilmuan.
“Jadi integrasi ilmu, iman, taqwa semoga bisa menghasilkan Ihsan yang paripurna. Nah ini nanti bisa dilakukan melalui berbagai kerjasama disiplin ilmu, jadi bukan hanya pengurus atau aktivis Muhammadiyah yang berlatar belakang pendidikan agama Islam/Studi Islam tetapi yang lainnya pun bisa ikut membawa gerbong pemikiran dan perilaku. Dari pemikiran itu kan akan terjadi perubahan sikap, dan dari perubahan sikap akan terjadi perubahan perilaku. Sehingga gerbong pikiran, sikap dan perilaku umat yang menuju kearah keberagamaan yang berdimensi irfani atau rasional reflektif,” jelas Yayah.
Hanya saja sekali lagi, kita menghadapi tantangan dimana mayoritas umat masih berkutat di seputar tekstualitas, literal, ritual-simbolis. Menurutnya, cukup sulit untuk membawakan atau mewujudkan visi umat Islam yang terangkat, tercerahkan melalui Islam Berkemajuan, jika pandangan masyarakatnya masih sama.