MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Lamanya bulan suci Ramadan adalah 29 hari atau 30 hari. Allah Swt menjelaskan hal ini pada ujung depan ayat ke-184 Surat Al-Baqarah yang berbunyi “Ayyaaman Ma’duudaat” (hari-hari yang dihitung).
Secara lengkap, Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah berbunyi,
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Menurut ulama Muhammadiyah Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya, ayat ini mengandung penegasan kasih sayang Allah Swt kepada makhluk-Nya, terutama kaum muslimin lewat penentuan waktu puasa yang berlangsung sebentar saja, yakni antara 29 atau 30 hari.
Selain itu, kasih sayang Allah juga ditunjukkan dengan penjelasan bolehnya kaum muslimin tidak melaksanakan kewajiban puasa itu dengan syarat-syarat tertentu seperti safar (perjalanan), atau sakit. Pada mereka ini, diwajibkan mengganti puasa Ramadan yang tak tertunaikan di hari lain.
Kasih sayang ini menurut Buya Hamka semakin ditegaskan Allah Swt lewat bolehnya kaum muslimin yang tidak mampu berpuasa untuk mengganti puasa di hari lain dengan membayar fidyah. Mereka yang tidak mampu, antara lain seperti orang yang renta, perempuan hamil/menyusui, atau orang yang memiliki masalah kesehatan serius.
Fidyah sendiri adalah memberi makan fakir-miskin sesuai jumlah puasa Ramadan yang ditinggalkan. Sederhananya, fidyah berupa makanan yang cukup untuk kenyang makan sehari. Kata Buya Hamka, orang kaya yang membayar fidyah, dianjurkan melebihkan takaran sesuai riwayat Anas bin Malik Ra.
Selanjutnya, di ujung akhir ayat ini Allah Swt menegaskan jika berpuasa Ramadan sejatinya adalah hal yang baik bagi kepentingan diri manusia sendiri. Bagian ini, menurut Buya Hamka ditujukan bagi selain orang-orang yang menerima rukhsah (keringanan) untuk mengganti puasa Ramadan di hari lain.
“Ujung ayat ini ialah mengingatkan kembali faedah puasa untuk menguatkan takwa tadi. Kalau badan tidak sakit dan tidak pula berat memikul lantaran tua atau sakit larut, sangatlah besarnya faedah puasa bagi jiwa. Janganlah hanya mengingatkan lapar dan hausnya, tetapi ingatlah keteguhan jiwa yang akan didapat lantaran dia. Niscaya engkau akan menjadi seorang yang berpuasa dengan segenap kesungguhan dan taat-setia, jika engkau ketahui betapa besar faedah rohani yang akan engkau dapat dengan puasa,” tulisnya.
“Jangan kamu sampai terhalang mengerjakan ibadat kepada Allah karena perintah itu terlalu memberati dan merepotkan. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya tidak akan sampai menyuruh puasa (bagi) orang yang sedang sakit. Dan kasih sayang-Nya pun tidak akan sampai memberati berpuasa orang yang sedang repot dalam musafir. Makan berbuka atau makan sahur yang teratur tidaklah terjamin lancarnya dalam musafir.”
Atas seluruh kasih sayang Allah ini, maka Buya Hamka berpendapat agar kaum muslimin selayaknya mencatat dengan rapi hari-hari yang ditinggalkan untuk mengambil rukhsah selama bulan suci Ramadan.
“Dan jika ketinggalan beberapa hari karena sakit atau karena musafir itu, sempurnakanlah hitungan hari-hari yang ketinggalan itu pada hari yang lain. Apatah lagi orang yang diberi rukhshah mengganti dengan fidyah; sudah demikian keringanan yang diberikan, janganlah hitungan hari itu diumpangkan. Hitung baik-baik karena mestinya engkau memberikan makanan kepada fakir-miskin itu.”
“Dan hendaklah kamu membesarkan nama Allah atas apa yang telah diberikan-Nya petunjuk akan kamu, dan supaya kamu bersyukur.” (ujung ayat 185 Surat Al-Baqarah). (afn)
Hits: 827