MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Di masa sekarang, profesi seorang dai, ustaz, atau mubaligh dikenal mobile atau tidak terpaku pada satu tempat. Seorang juru dakwah biasa bertandang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengisi pendidikan keagamaan.
Di Indonesia awal abad 20, hal seperti ini belum menjadi kebiasaan umum. Seorang tokoh agama, lazimnya memberikan pendidikan dari satu tempat khusus, yaitu perguruan atau pesantren yang dimilikinya. Artinya, guru didatangi oleh murid, bukan sebaliknya, guru mendatangi murid.
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1983) menyebut tradisi guru mendatangi murid pertama kali dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang diistilahkan dengan kegiatan pendidikan desa atau guru keliling.
Kiai Ahmad Dahlan melakukan kegiatan ini pada hari-hari keagamaan, misalkan hari Jumat, hari pengajian Rutin, termasuk hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi.
Demikian terang Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan jejak pembaruan sosial dan kemanusiaan : kado satu abad Muhammadiyah (2010). Dobrakan Kiai Ahmad Dahlan ini di kemudian hari ini dikenal dalam tradisi Persyarikatan Muhammadiyah dengan istilah tablig atau pengajian, yang selanjutnya juga diikuti oleh umat Islam lain dan menjadi tradisi pemeluk Islam Indonesia secara umum, terutama kaum santri.
Dengan metode Guru Keliling ini, tak sedikit tokoh nasional yang mendapat pencerahan dari Kiai Ahmad Dahlan. Adams dalam bukunya, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) menyebut dari tabligh di berbagai kota itu, tokoh seperti Ir. Soekarno, Roeslan Abdoelgani, beserta HOS Tjokroaminoto berkesempatan mendengarkan pelajaran dari Kiai Ahmad Dahlan di Gang Peneleh, Surabaya. (afn)
foto : Arsip LDK PP Muhammadiyah
Hits: 6