MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Sebelum terjun ke dunia militer dan menjadi Jendral Besar, Soedirman aktif dalam organisasi kepemudaan Pandu Hizbul Wathan (HW). Meski kental akan identitas militernya, namun Jenderal Besar Sudirman di sisi lain memiliki jiwa humanis religius serta perhatian terhadap dunia pendidikan dan kepemudaanMeski kental akan identitas militernya, namun Jenderal Besar Sudirman di sisi lain memiliki jiwa humanis religius serta perhatian terhadap dunia pendidikan dan kepemudaan.
Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sardiman dalam paparannya menuturkan bahwa ada saat Sudirman menjadi pimpinan HW menyelenggarakan tiga program pendidikan pokok yang dilaksanakan oleh kader-kader HW, yaitu pendidikan rohani, pendidikan jasmani, dan program karya bakti.
“Di samping sepak bola, standen (membangun piramid), bahkan HW di bawah pimpinan Pak Dirman ini terdapat juga latihan perang-perangan,” tuturnya pada (28/2) di acara Kapita Selekta Dakwah Ponpes Budi Mulia, Yogyakarta.
Sardiman menegaskan bahwa, selama keikutsertaannya di HW jiwa bela Negara yang dimiliki oleh Jendral Sudirman tumbuh dan mekar luar biasa. Baru kemudian diperkuat ketika Jendral Sudirman aktif di PETA.
Pendidikan yang diperoleh Sudirman ketika di Muhammadiyah, khususnya di Pandu HW menjadikan dirinya sebagai sosok yang tegak lurus membela kepentingan tanah air dan anti penjajahan. Bekal besar yang diberikan Muhammadiyah kepada Jendral Besar, menjadikannya memiliki cinta yang besar kepada Muhammadiyah.
Bahkan ketika masa pendudukan Jepang, Jendral Sudirman menunjukkan kecintaannya terhadap Muhammadiyah beliau menyelamatkan pendidikan Muhammadiyah di Cilacap. Sardiman menuturkan, gaya penyelesaian masalah Jendral Sudirman atas masalah pendidikan yang dialami oleh Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan Ki Hajar Dewantara.
“Kalau saya baca, gaya-gaya dan pikiran Pak Dirman itu kaya Ki Hadjar pada saat membela atau mempertahankan pendidikan bagi pribumi,” tuturnya.
Selain itu, Jendral Sudirman juga aktif dalam membina koperasi masyarakat dan selama di dunia perkoprasian, Sudirman sering bolak-balik ke Yogyakarta. Kegiatan ini dimanfaatkannya dengan melakukan kunjungan ke tokoh-tokoh Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta untuk menambah pengetahuan.
Pendidikan Formal dan non Formal dari Muhammadiyah
Sementara itu, Nur Aini Setiawati Sejarahwan Universitas Gadjah Mada menuturkan bahwa sisi humanis pemerhati pendidikan dan karakter religius yang dimiliki oleh Jendral Sudirman merupakan hasil pendidikan dari Muhammadiyah. Pendidikan yang didapatkan dari Muhammadiyah tidak hanya melalui jalur formal.
Sebab, imbuh Nur Aini, pendidikan yang diterima oleh Pak Dirman dari Muhammadiyah bukan hanya dari sekolah, tapi juga dari jalur keorganisasian. Di mana pada tahun 1935-1937 Pak Dirman aktif sebagai anggota Pemuda Muhammadiyah, menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Banyumas, termasuk aktif dan menjadi Pemimpin di Pandu HW.
“Setelah mendapat pendidikan dari Muhammadiyah, pada usia 20 tahun beliau itu menjadi guru sampai menjadi Kepala Sekolah di Wirotomo, HIS Muhammadiyah di Cilacap,” ungkapnya.
Selama aktif dan menjadi guru di HIS Muhammadiyah Cilacap, Jendral Sudirman hidup dengan sangat sederhana sebab gaji yang didapatkan waktu itu sedikit. Padahal dengan keahlian dan kecerdasan yang dimiliki, Pak Dirman banyak mendapat tawaran dan memiliki kesempatan untuk bekerja di tempat yang gajinya besar, tapi beliau tidak ingin.
“Pengabdiannya jadi guru dan aktif di Muhammadiyah tetap dijalani meskipun gajinya kecil waktu itu. Kalau beliau itu mau mencari gaji yang banyak itu bisa, tapi ini semangat di Muhammadiyah itu tinggi,” kata Nur Aini.
Kesadaran berorganisasi dan menggalang persatuan kesatuan Pak Dirman tidak bisa dilepaskan dari peran Muhammadiyah. Bahkan jika ditarik garis sejarah kecintaan Jendral Sudirman terhadap tanah air, kata Nur Aini, itu didapat dari lingkungan Muhammadiyah yang melingkupi Jendral Sudirman sejak muda.
Hits: 396