MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Menanggapi arus Islamophobia yang tak kunjung usai baik di negara Barat maupun negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, Presiden Nusantara Foundation di Amerika Serikat (AS) Muhamad Shamsi Ali mengajak umat tak perlu merasa risau.
“Kalau berbicara tentang Islamophobia ini kan memang bukan sesuatu yang baru. Kita imani bahwa dakwah itu pasti mendapat tantangan,” kata Shamsi dalam webinar Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Selasa (20/4).
“Sehingga, kami tidak perlu over worried, terlalu khawatir, apalagi ketakutan menghadapi Islamophobia tersebut,” ucapnya.
Islamophobia sebagai sesuatu yang alami bagi Shamsi telah muncul sejak lampau. Di dunia Barat masa kini, jejak Islamophobia disiratkan pada penamaan suatu disiplin Ilmu seperti Islamic Studies yang awalnya bernama Orientalism.
Menurut Shamsi, kedua penamaan tersebut tanpa disadari telah membentuk phobia atau upaya-upaya untuk membangun rasa takut atau kekhawatiran orang-orang Barat tentang Islam.
“Kenapa disebut orientalism? Agama ketimuran, kenapa timur? Karena dunia ini kan dibagi kepada beberapa ya, ada barat ada timur,” ujarnya.
Penamaan Orientalism sebagai satu bidang studi, menurut Shamsi tidak disebabkan oleh pembatasan geografis, tetapi menyiratkan batas imaginer antara orang-orang Barat dan orang-orang non Barat, lebih khususnya muslim.
Tak cukup menjadikan orang non Barat sebagai objek kajian yang tak pernah diberi kesempatan bicara sebagai subjek, Orientalisme mengontraskan orang-orang Timur dan Islam berkebalikan dengan orang-orang Barat yang hidup penuh keadaban dengan demokrasi hingga Hak Asasi Manusia.
“Demikian juga ketika dinamakan Middle Eastern Studies, Studi Ketimurtengahan. Kenapa Timur Tengah? karena Timur Tengah berarti lebih identik kepada Arab ya, dan kata Arab di dunia Barat dan di Amerika ini, dengan segala kedekatan, ya antar Amerika dan dunia Arab, karena oil, karena minyak, sesungguhnya memiliki konotasi yang negatif. Makanya Islam itu digambarkan seperti agamanya orang Arab,” ujar Shamsi.
“Ini kan penggambaran ini ya, bahwa Islam itu agamanya Timur Tengah, agamanya orang Arab, siapa Arab itu? Konotasinya negatif seperti yang saya sebutkan tadi. Orang yang kaku, rigid, orang yang suka emosi, orang yang suka berperang, orang yang tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan, enggak menghormati wanita. Nah, semua ini kan konotasi yang kemudian ingin dikaitkan dengan ajaran agama Islam,” katanya.
“Maka studi Islam pun sesungguhnya di universitas-universitas dari dahulu pun itu ada membangun semacam persepsi, image building bahwa Islam itu agamanya demikian. Jadi bukan sesuatu barang baru sesungguhnya,” tutupnya.
Hits: 4