MUHAMMADIYAH.OR.ID, SUDAN—Sampaikan tentang sejarah, metodologi (manhaj), dan urgensi Mejalis Tarjih, Ruslan Fariadi, Sekretaris Divisi Perkaderan dan Organisasi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebut, setiap putusan di Muhammadiyah baik aqidah, ibadah dan mu’amalah harus beririsan dengan spirit dan nilai keagamaan.
Ia memaparkan, Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan (tajdid) bergerak pada tiga aspek yaitu keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. Fokus pada aspek keagamaan, Ruslan Fariadi menjelaskan bahwa Muhammadiyah secara tegas berperan sebagai Tajrid atau purifikasi sebagaimana diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
“Sementara terkait dengan mu’amalah dunyah wiyah, prufikasi di sini memiliki makna dinamisasi. Pembaharuan baik dengan melakukan modifikasi-kreasi sehingga menjadi gerakan yang memiliki efek yang terasa massif di tengah masyarakat luas,” urainya pada (3/4) dalam acara Webinar yang diadakan PCIM Sudan.
Sebelum menjadi Majelis Tarjih, KH. Mas Mansur mengusulkan majelis yang memayungi urusan hukum yang meliputi Majelis Tasyri’, Tanfiẓ dan Taftisyi. Namun pada Kongres Muhammadiyah ke XVI tahun 1927 di Pekalongan, ketiga majelis tersebut dilebur menjadi satu dengan nama Majelis Tarjih. Kemudian berubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, dan menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid.
Sementara itu, faktor internal berdirinya majelis ini karena keadaan yang berkembang dalam tubuh Muhammadiyah akibat dari perluasan dan kemajuan yang dicapai. Dan faktro eksternalnya karena terkait perselisihan paham mengenai masalah khilafiyah di antara umat Islam. Serta masuknya ajaran Ahmadiyah ke Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa dengan adanya Majelis Tarjih, Muhammadiyah bukan berarti anti mahdzab akan tetapi tidak berafiliasi mahdzab. Artinya tidak mengikuti mahdzab tertentu, melainkan dengan berijtihad bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan metode ijtihad yang ada. Meski demikian, Muhammadiyah sama sekali tidak menafikan pendapat fukaha.
Dalam Manhaj Tarjih, memakai tiga pendekatan yaitu bayani, burhani, dan irfani. Artinya, Muhammadiyah dalam membuat suatu putusan tidak berlepas dari teks, penalaran dengan mengaitkan IPTEK, metode ini menggunakan akal untuk mengkorespondensikan kebenaran nash. Dan metode irfani yang secara metodologis dipraktikkan bertumpuh pada instrument batin, dzauq, qalb, wijdan, bashirah atau institusi.
“Ketiga pendekatan tersebut diterapkan secara spiral triadik atau satu kesatuan yang salin terkait,” imbuhnya.
Selanjutnya, urgensi Majelis Tarjih berfungsi sebagai roda yang menggerakkan kesatuan faham dalam Muhammadiyah, mengenai masalah-masalah hukum dan sekaligus ruh Muhammadiyah. Adanya Majesli Tarjih menjadi pembeda antara Muhammadiyah dengan LSM, karena Muhammadiyah harus dikawal dan bombing betul dengan nilai-nilai keagamaan.