MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL — Resmikan Institut Tabligh Muhammadiyah (ITM) yang dikelola Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Senin (14/11), Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak kembali untuk merefleksikan orientasi alam pikiran ketablighan Muhammadiyah yang bisa jadi saat ini mengalami diskontinuitas dari dasar-dasar yang diletakkan oleh KH. Ahmad Dahlan dahulu.
Dalam pengamatan Haedar, saat ini yang menyeruak ke permukaan dari aktivitas ketablighan ialah pada sisi nahi munkar. Padahal, di masa awal dakwah yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan menonjolkan sisi tersebut. Hal itu bisa dilacak dari catatan-catatan penelitian/kajian dan sumber bacaan Kiai Dahlan. Terkait diskontinuitas tersebut, Haedar menyarankan supaya ada kajian sosiologi agama dengan menggunakan pendekatan etnografi.
“Agar kita tahu jejak awal Kiai Dahlan. Kenapa ? Karena kiai Dahlan dan gerakan Muhammadiyah generasi awal itu fenomena yang luar biasa.” Ungkapnya.
Disebut fenomenal karena latar belakang lahirnya Kiai Dahlan dan tempat berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta yang kental dengan tradisi Keraton Yogyakarta. Selain itu, latar belakang pendidikan Kiai Dahlan di Mekkah Arab Saudi yang notabene menganut Wahabi, tapi sepulang dari sana beliau menjadi mujadid atau pembaharu. Bahkan oleh beberapa ilmuan, pembaruan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan ini mengalami lompatan.
“Bagaimana seorang Dahlan yang tidak belajar ilmu dari barat, dia bisa punya gagasan melahirkan institusi pendidikan Islam yang modern-holisitik. Memadukan ilmu agama dengan ilmu pendidikan umum, kemudian juga sekolah dengan masyarakat dan keluarga,” kata Haedar.
Padahal saat itu dengan konsep tasabuh, apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan tentu dianggap haram. Akan tetapi jika merujuk ke buku-buku yang ditulis oleh beberapa kalangan Muhammadiyah, disebutkan bahwa tajdid Muhammadiyah sebagai purfikasi atau pemurnian, dan Muhammadiyah disebut sebagai revivalisme Islam.
Namun demikian, pendapat ini berbeda dengan yang ditemukan para peneliti luar yang mendekati Muhammadiyah dengan pendekatan sosiologi agama dan etnografi. “Kesimpulan mereka itu sama, bahwa Muhammadiyah itu gerakan reformis, gerakan modernisme, bukan revivalisme. Tapi dibelakang hari arus kuat Muhammadiyah itu revivalisme Islam, baik dalam paham agama maupun politik.” Tutur Haedar.
Jejak pemikiran Islamisme Modern Muhammadiyah dapat dilihat pada diri tokoh-tokohnya yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti Ki Bagus Hadikusumo. Tokoh-tokoh Muhammadiyah masa dahulu meski keras dalam urusan moral, tapi mereka inklusif dalam sikap dengan lawan politiknya. “Sampai Natsir tetap bersahabat dengan Aidit, yang itu mustahil dilakukan oleh tokoh Islam atau tokoh politik saat ini. Inilah yang membuat kita menjadi miopik,” imbuhnya.
Hits: 48