MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Usaha membangun ekonomi, keadilan, dan kemanusiaan Indonesia membutuhkan rekonstruksi seksama di banyak aspek, baik perundang-undangan hingga perumusan parameter baku terkait kesejahteraan hidup manusia.
Pada usaha ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir berharap pemerintah menggali kembali sumber-sumber primer Keindonesiaan dengan semangat evaluasi.
“Kenapa kita perlu untuk menengok kembali dan mentransformasikan gagasan-gagasan dasar dari para pendiri negeri ini dan jiwa dari perjalanan bangsa kita yang sudah ratusan tahun? agar kita bisa merawat Indonesia ini dan membesarkannya menjadi negara besar dan ruang untuk itu terbuka, potensi untuk itu terbuka,” ujarnya.
Dalam seri ketiga gelar wicara Gagas RI bertajuk “Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan”, Haedar menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus berkesinambungan dan tidak boleh terputus dari akarnya. Bahkan Indonesia tidak boleh sekadar asal meniru (copy paste) dari negara maju.
“Maka rekonstruksi with meaning (dengan makna), minimal rekonstruksi dengan tiga nilai utama bangsa Indonesia; Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa. Ini yang bisa kita jadi fondasi sebagai bangsa yang punya identitas,” jelasnya.
“Bahkan dalam perjalanan sejarah, untuk menjadi Indonesia, kita bersama para pejuang dan seluruh kekuatan bangsa sebelum merdeka berani berkorban dengan seluruh apa yang dimiliki. Itu modal nasionalisme dan heroisme yang tidak bisa dibeli di tempat lain,” imbuhnya.
Haedar menilai, Indonesia perlu membangun sistem yang mampu mengeliminasi hal-hal buruk dan memberi ruang pada hal-hal yang baik. Di samping itu, dalam rekonstruksi ini perlu adanya peninjauan ulang, termasuk perumusan baru pada parameter baku terkait kesenjangan hingga kesejahteraan sosial yang tidak serba statistikal.
“Di luar angka-angka itu ada realitas kehidupan yang kualitatif, jadi kami yang sering turun ke bawah, pergi ke perbatasan di Merauke, (menemukan) ada saudara-saudara kita yang jalan kaki, jauh dari kesejahteraan, sehingga kita bisa sampai pada kesimpulan ada dimensi kehidupan ekonomi, kesejahteraan, dan lain sebagainya yang tidak bisa diukur dari sekadar aspek-aspek kuantitatif,” pesan Haedar.
“Di balik teori, ada realitas kehidupan yang tidak bisa kita kamuflase. Ini persoalan yang harus dijangkau oleh para pemegang kebijakan dan kita masih ada waktu untuk merekonstruksi lagi, termasuk meletakkan setiap aspek kehidupan ini dalam satu relasi yang terkoneksi agar tidak terjadi paradoks,” imbuhnya.
Sebagai wejangan, Haedar berharap pemerintah berinisiatif kembali membuka makna setiap sila Pancasila dan intisari pembukaan UUD 1945 sebagai bahan merumuskan rekonstruksi baru.
“Yang perlu kita cermati dengan seksama pertama adalah pragmatisme yang bisa membuat kita lag (gagap) dari ide-ide dasar, kedua disorientasi akibat kita terlalu pragmatis dalam berbangsa seperti kisah Abu Nuwas ketika mencari barangnya yang hilang di dalam rumah, namun dia mencarinya di halaman rumah karena beralasan di dalam rumahnya gelap. Nah mudah-mudahan itu tidak terjadi,” pungkas Haedar. (afn)
Hits: 100