Penampilan memukau Putri Ariani membawanya meraih tiket golden buzzer sekaligus menggemparkan audisi America’s Got Talent di Amerika Serikat. Dari keempat juri ajang pencarian bakat tersebut, Simon Cowell menjadi salah satu yang paling terkesima dengan aksi panggung Putri. Dalam dentum-detak historis yang tak terelakkan, ia menjadi perbincangan hangat baik nasional maupun skala internasional.
Perempuan asal Bangkinang, Kampar, Riau yang lahir pada 31 Desember 2005 ini merupakan anak dari pasangan Ismawan Kurnianto dan Reni Alfianty. Sejak usia belia, Putri banyak mengikuti ajang pencarian bakat sebagai usahanya untuk menjadi Diva Internasional. Pada tahun 2014 saat usianya belum genap 9 tahun, Putri berhasil meraih juara dalam kontes Indonesia’s Got Talent. Penampilannya yang tanpa cela ini membuat para juri terpukau akan keindahan suaranya.
Tidak hanya dalam olahan suara, musikalitas Putri dalam menciptakan lagu tidak perlu diragukan lagi. Lagu yang ia bawakan dengan judul “Loneliness” dalam ajang pencarian bakat di Amerika tersebut merupakan ciptaannya sendiri. Kualitas lirik lagu dan nada-nada yang ada di dalamnya inilah yang membuat Simon takjub hingga akhirnya Putri meraih tiket emas. Berkat suara dan lagu yang dia ciptakan itu, kurang dari lima hari, penampilannya di YouTube telah ditonton sebanyak 23 juta tayangan.
Sayangnya, kombinasi antara bakat alami dan kerja keras Putri seringkali dihubung-hubungkan dengan keadaan dirinya sebagai difabel netra. Tidak sedikit orang yang mengira bahwa Putri dikagumi bukan semata-mata karena kualitas olah vokal dan lirik lagunya, melainkan lantaran bahwa dirinya adalah seorang difabel netra.
Dalam perspektif Muhammadiyah, situasi dan kondisi seorang difabel sama dan setara dengan kebanyakan orang. Islam menegaskan bahwa manusia diukur berdasarkan amal perbuatan. Jika menebar manfaat, maka mendapatkan derajat kemuliaan yang tinggi di hadapan Allah Swt.
Difabel dan Disabilitas
Terkait dengan diskursus istilah, Muhammadiyah sejak lama sudah tidak menggunakan istilah “cacat” atau “tuna”. Sejak awal tahun 2000an, Muhammadiyah sudah mempromosikan istilah difabel yang merupakan akronim dari different ability people. Istilah difabel sebetulnya sudah mulai digunakan pada akhir dekade 1990 an di Yogyakarta, sebagai bagian dari kampanye hak asasi manusia.
Muhammadiyah juga cenderung menghindari kata “disabilitas” atau “abnormal”. Sebab, ketika harus menguraikan apa itu “abnormal”, maka harus pula menggambarkan dulu apa itu “normal”. Begitu pula dengan disability, yang harus menjelaskan terlebih dulu apa itu ability. Kedua kata ini telah dibangun atas relasi kuasa dan hirarki sosial yang cukup rumit dan kompleks. Karena itulah, penggunaan istilah “difabel” yang digunakan Muhammadiyah sesungguhnya untuk menghindari jebakan cara berpikir yang binarian.
Menurut Muhammadiyah dalam Fikih Difabel, istilah “difabel” dipandang lebih manusiawi dan bermartabat. Lebih dari itu, penggunaan istilah difabel untuk menunjukkan posisi Muhammadiyah bahwa semua manusia yang Allah ciptakan memiliki “kemampuan yang berbeda-beda”. Hanya saja ada beberapa orang yang memerlukan alat bantu agar mereka mampu memaksimalkan potensi terdalam dirinya. Karenanya, dalam perspektif Fikih Difabel, kondisi difabel bukanlah penghalang dalam menjalin hubungan dengan Allah maupun dalam berkarya dalam kehidupan.
Cara pandangan Muhammadiyah ini didasarkan pada nilai-nilai Tauhid. Nilai-nilai tauhid membawa pada keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah (QS. al-Baqarah ayat 117 dan QS. al-Thalaq ayat 12). Peran Allah untuk makhluk-Nya tidak hanya mencipta, melainkan juga mengatur segala detail ciptaan-Nya mulai dari bentuk fisik sampai nasib (QS. al-Ḥasyr ayat 24 dan QS. al-Insan ayat 30). Keyakinan ini membawa pada satu pemahaman bahwa semua manusia di hadapan Allah pada hakikatnya sama.
Selain nilai Tauhid, Fikih Difabel juga ditopang dengan nilai keadilan. Dari nilai keadilan ini menghasilkan keyakinan bahwa semua manusia pada dasarnya sama di hadapan Allah. Persamaan derajat di hadapan Allah ini menunjukkan bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus sebagai subyek hukum/mukallaf (QS. Al-Nur: 61). Artinya mereka tetap dapat beribadah dan berkarya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika mereka dapat diberi kesempatan hadir di depan publik, bukan tidak mungkin kondisi difabel dapat menciptakan kemaslahatan.
Putri dan Ruang Publik Inklusif
Takdir Putri sebagai difabel netra mendapat sorotan lampu yang begitu terang. Ia lantas ditempatkan sebagai seseorang yang berbeda. Menempatkan Putri sebagai yang berbeda sama artinya mengandaikan bahwa orang-orang yang seperti dirinya tidak akan mampu mencapai kesuksesan dan apresiasi dari khalayak. Keberhasilan Putri dalam seni vokal akhirnya dipandang sebagai fenomena unik. Hal ini tentu saja membawa pada satu persepsi bahwa bakat alaminya dalam bidang musik berkat simpati banyak orang terutama juri America’s Got Talent terhadap kondisinya yang difabel netra.
Padahal, berdasarkan penjelasan dalam Fikih Difabel di atas, fenomena keberhasilan Putri karena fakta bahwa tiap-tiap orang sesungguhnya memiliki kemampuan. Tinggal, apakah kita mampu memberikan fasilitas yang memadai agar seluruh potensi kemampuan ini mendapatkan ruang yang layak bagi kalangan difabel. Selama ini, kondisi difabel dipandang sebagai manusia yang serba terbatas. Padahal, yang terjadi adalah kita tidak berlaku adil. Kita tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkarya dan bercerita.
Karenanya, kondisi Putri sebagai difabel netra tidak perlu ditonjolkan. Apa yang mesti diapresiasi dari kesuksesan Putri ialah adanya akses bagi difabel untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan. Andaikan Fikih Difabel ini menjadi pandangan dunia arus utama umat Islam dalam menciptakan Ruang publik inklusif bagi semua orang, maka bukan tidak mungkin, akan ada banyak Putri-putri yang lain yang tampil dan berkarya tanpa diskriminasi.
Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS
Hits: 3818