Afandi
Akhir tahun 2020, Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) meraih penghargaan nasional dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai Laznas dengan pertumbuhan pengumpulan Zakat Infak Sedekah (ZIS) terbaik.
Penghargaan yang sama diraih oleh Lazismu pada 2018. Pada tahun 2019, Lazismu juga mendapatkan penghargaan di bidang Laznas dengan laporan tahunan terbaik.
Meski prestasi dan kepercayaan masyarakat ke Lazismu semakin meningkat dari tahun ke tahun, Ketua Lazismu Pusat Prof. Hilman Latief menilai bahwa Lazismu masih butuh waktu yang panjang untuk menyadarkan umat tentang pentingnya badan zakat sebagai penopang gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dan gerakan kemanusiaan yang inklusif menyasar semua golongan.
Makna Progresif Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS)
Hilman mengatakan bahwa mayoritas umat Islam masih menganggap bahwa ZIS adalah perkara ritual dan fikih semata yang sebatas menggugurkan kewajiban. Akibat pemaknaan itu, ZIS menurut Hilman berhenti dalam pemaknaan yang sempit.
Sementara itu, perangkat untuk mengarahkan tindakan umat seperti fatwa masih terbilang minim. Melalui riset yang telah dia lakukan, Hilman menyebut hampir tidak ada ulama yang memberikan pemaknaan baru terkait objek dan operasional ZIS yang lebih luas.
Padahal, ZIS menurut Hilman berkaitan erat dengan aspek teologis (akidah) di dalam konteks menyatukan kekuatan umat melawan berbagai bentuk kezaliman (ketidakadilan).
ZIS dan Problem Kemampuan Mendefinisikan ‘Kemiskinan’
Tidak adanya dukungan ulama melalui fatwa-fatwa kontemporer terkait zakat, membuat tantangan lembaga ZIS semakin berat dalam menggalang kekuatan umat yang berkelanjutan.
“Fikih di hampir seluruh organisasi Islam tidak ada yang progresif, padahal (kehidupan) manusianya progresif semua. Padahal, fatwa adalah opini keagamaan resmi untuk menjawab permasalahan masyarakat,” jelasnya dalam forum webinar Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institute Ahmad Dahlan Jakarta, Sabtu (6/2).
Memberikan contoh, Guru Besar Bidang Studi Islam yang baru dikukuhkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu, (30/1) mengaku belum menemukan definisi tentang apa yang dimaksud sebagai ‘kemiskinan’ oleh setiap lembaga Islam di Indonesia, termasuk Muhammadiyah, NU dan MUI.
Tanpa adanya fatwa yang spesifik, mewujudkan konsep al-adalah (keadilan, justice) dalam tataran operasional di tengah-tengah umat baginya akan sulit untuk diwujudkan secara luas.
Belum lagi kebanyakan ulama yang dia pandang masih cenderung pasif dan menghindari pembahasan terkait fatwa zakat yang spesifik di ranah konseptual.
“Ke depan, kita butuh interpretasi baru yang lebih operasional,” ungkapnya.
Tidak Hanya Amar Makruf Nahi Munkar
Lebih jauh, Hilman Latief menyebut bahwa posisi fatwa amat menentukan untuk membuat umat berani bergerak bersama. Meskipun untuk menggerakkan mereka juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Yang menarik ketika bicara agama, konsep-konsep baru yang revolusioner, transformatif itu tidak mudah diwujudkan dalam tataran praksis,” sambungnya.
Hilman berharap para pemegang otoritas keagamaan, terutama ulama Muhammadiyah segera memberikan perhatian terhadap fatwa-fatwa keagamaan yang spesifik di bidang ZIS.
Kepentingan itu terutama diperlukan agar dakwah amar makruf nahi munkar Islam mampu bersaing dengan gerakan-gerakan berbasis filantropi dari kelompok non-Islam yang memiliki gerak tak kalah luas, termasuk menyasar umat muslim sendiri.
Tak hanya amar makruf nahi munkar, kebutuhan fatwa juga mampu menjadi landasan penguat agar gerakan ZIS semakin luas dan inklusif menyasar siapapun yang membutuhkan pertolongan, termasuk umat non-muslim.
Hilman mengisahkan pengalamannya di Belanda satu dekade lampau saat menghadiri forum dengan lembaga filantropi berbasis agama non-Islam. Menurut Hilman, gerakan mereka yang inklusif dan reflektif semakin patut diperhatikan agar gerakan dakwah dan gerakan kemanusiaan Islami tidak tenggelam oleh gerak masif kelompok lain yang lebih kuat dan terorganisir.
Editor: Fauzan AS
Hits: 9