MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ibadah puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu dari rukun Islam yang wajib dijalankan. Bulan ini menjadi kesempatan yang sangat baik untuk menyucikan jiwa (tazkiyat al-nafs). Hal tersebut lantaran puasa merupakan sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt (QS. Al Baqarah: 18 3).
Karena ibadah puasa termasuk aspek taabudi, maka pelaksanaannya harus berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan al-Sunah. Akan tetapi Syamsul menerangkan bahwa apa yang terdapat dalam dua sumber utama ajaran Islam itu, ibadah puasa dalam kondisi normal. “Apabila dalam situasi yang tidak normal, maka dapat dilakukan ijtihad-ijtihad tertentu,” tambahnya.
Contoh puasa dalam kondisi tidak normal, dalam artian berbeda secara situasi dan kondisi dengan konteks saat teks al-Quran dan al-Sunah diturunkan, yaitu puasa di lintang tinggi. Bagi mereka yang tinggal di negara-negara dekat kutub, puasa yang mesti ditempuh sekitar 22 jam. Hal tersebut berbeda dengan negara-negara yang dilewati garis khaltulistiwa yang menempuh puasa sekitar 12 sampai 13 jam. Bagaimana pelaksanaannya?
Menurut Syamsul Anwar dalam kajian Santri Cendekia Forum pada Jumat (02/04) mengemukakan bahwa prinsip ibadah puasa Ramadan bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia (QS. Al Anbiya: 107), tidak mempersulit orang beriman (QS. Al Hajj: 78), teknis pelaksanaannya bersifat memudahkan (QS. Al Baqarah: 185), dan menyesuaikan dengan tingkat kemampuan seseorang (QS. Al Baqarah: 286).
Jawaban lengkap terkait puasa di lintang tinggi terdapat dalam buku terbaru Syamsul yang berjudul Fatwa Ramadan. Secara keseluruhan buku ini dapat menambah khazanah sekaligus pegangan keagamaan di bulan Ramadan. Di dalamnya memuat isu klasik yang masih diperdebatkan hingga masalah kontemporer yang belum banyak dibahas.
“Prinsip penyusunan buku fatwa ini juga berdasarkan prinsip tradisi diskursif Islam. Maksudnya, satu warisan umum umat Islam yang sudah mengkristal baik di dalam teks-teks standar Quran dan Hadis, maupun pandangan para fuqaha,” ungkap Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini.
Karenanya, tambah Syamsul, di dalam buku Fatwa Ramadan tersebut banyak sekali kutipan para ulama. Syamsul melakukannya agar tidak meninggalkan warisan Islam yang begitu kaya dan tidak terputus dengan tradisi keilmuan terdahulu.