MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam Mazhab Syafii, Ijma maupun qiyas melengkapi sumber hukum selain Al-Quran dan Hadis. Mengenai ijma sebagai sumber hukum, Imam Ahmad bin Hanbal pernah memberi komentar dengan mengatakan bahwa sesiapa saja yang mengaku ada ijma, maka ia telah berdusta.
Pernyataan pendiri Mazhab Hanbali ini tidak bertujuan mendeklasifikasi ijma sebagai bagian dari hukum Islam, melainkan hanya sebagai bentuk kehati-hatian bila ada seseorang yang mengatasnamakan ijma.
Selain itu, menurut anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi, komentar di atas merupakan bukti bahwa pada era Imam Ahmad begitu sulit menemui ijma terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang relatif baru.
Kesulitannya terletak pada penentuan serta kualifikasi siapa yang harus berijmak. Satu pendapat mengatakan bahwa komponen ijma lebih bersifat populis, artinya melibatkan seluruh warga masyarakat muslim di seluruh dunia. Pandangan lain lebih bersifat elitis dengan mengatakan bahwa ijma adalah konsensus para mujtahid.
Lebih jauh, apakah suatu ijma harus dilakukan oleh sekelompok orang dalam satu zaman atau boleh melibatkan kelompok lintas zaman. Pada era sahabat sangat mungkin ijma dilakukan dengan tahap-tahap prosedur teknis yang sempurna.
Populasi umat Islam masih sedikit, wilayah kekuasaan belum begitu luas, dan persoalan keagamaan tidak begitu kompleks. Karenanya Ruslan menegaskan bahwa saat ini sungguh sulit menemui kata ijma terhadap persoalan baru lantaran umat telah begitu banyak dan tersebar di berbagai belahan dunia, sehingga begitu rumit untuk mencari kata sepakat.
“Saat para sahabat Nabi yang jumlahnya tidak sebanyak umat Islam saat ini mengatakan ijma, mungkin sudah sangat rasional. Tetapi dalam dedake kemudian hingga saat ini sangat sulit sekali adanya ijma terhadap persoalan-persoalan baru,” tutur Ruslan dalam acara Sekolah Tarjih Internasional pada Sabtu (28/08).
Istilah alternatif untuk menggambarkan adanya kesepakatan di antara umat Islam dapat menggunakan kata ‘jumhur ulama’—sebagai pengganti kata ‘ijma’. Berbeda dengan ijma yang menunjukkan konsensus absolut (tidak ada perbedaan pendapat), istilah ‘jumhur ulama’ ini lebih rasional digunakan saat ini, lantaran masih dapat diukur secara statistis dan kuantitas serta menunjukkan adanya potensi perbedaan pendapat.
“Istilah jumhur ulama itu masih rasional, karena secara statistik dan kuantitas dapat diukur. Tetapi kalau mengatakan ijma itu menunjukkan konsensus, artinya tidak ada satu pun orang yang berbeda pendapat sehingga tidak jelas apa tolok ukurnya,” ucap dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Terlepas dari apa pun konsepsi ijma, Muhammadiyah tetap memposisikannya sebagai sumber paratekstual atau sumber pendamping.
Dalam putusan Tarjih mengenai wakaf digunakan ijmak sebagai salah satu dasar putusannya di samping sumber nas, di mana dikatakan, “Dan karena ijmak ahli fikih bahwa syarat [klausul] wakif itu sama kedudukannya dengan nas syarak.” Ruslan menegaskan bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah Al Quran dan Al Sunah.