MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Selasa (21/3).
Pengesahan ditandai dengan diserahkannya naskah pandangan pemerintah oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dalam Rapat Paripurna ke-19 masa persidangan IV tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menanggapi pengesahan tersebut, Ketua Bidang Riset dan Advokasi Kebijakan Publik LBHAP (Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Gufroni menyebut bahwa Perppu Cipta Kerja maupun Undang-undangnya itu sendiri masih bersifat inkonstitusional dan tidak memenuhi syarat formil pengesahan undang-undang.
“Pertama, secara formil pengundangan, Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang mengulangi kaset lama,” tutur Gufroni lewat keterangan tertulis, Kamis (23/3).
“Baik itu Pemerintah maupun DPR-RI cenderung mengambil jalan pintas dengan mengesahkan Undang-undang lewat mekanisme penerbitan Perppu yang sebenarnya tidak memenuhi syarat penerbitan Perppu terkait ihwal kegentingan yang memaksa. Pun dengan diterbitkannya Perppu semacam itu, maka penerbitannya bersifat tidak partisipatif,” tambahnya.
Gufroni mengatakan, penerbitan Perppu Cipta Kerja maupun penyetujuannya sebagai Undang-undang dengan ini telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011.
Undang-undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun Putusan Mahkamah Konstitusi RI 91/PUU-XVIII/2020 pada intinya menyatakan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.
“Kedua, secara materiil dan substansial, muatan norma hukum di dalam Perppu Cipta Kerja yang kemudian disetujui sebagai Undang-undang tidak banyak berubah dari versi lamanya,” ujarnya.
Alih-alih memperbaiki substansi normanya agar selaras dengan konstitusi, instrumen hak asasi manusia, konvensi-konvensi internasional yang berlaku di Indonesia, maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada sebelumnya, sejumlah norma-norma di dalam Perppu Cipta Kerja masih melegitimasi praktik kerusakan lingkungan hidup, pengurangan hak-hak pekerja lewat skema pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sebagainya.
Termasuk juga peminggiran terhadap kelompok petani, nelayan, dan masyarakat adat lewat pengubahan norma-norma yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek bisnis dan pembangunan di wilayah daerah.
Gufroni lantas menyayangkan penyetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Selain penerbitan Perppu Cipta Kerja itu sendiri cenderung dipaksakan secara sepihak begitu saja oleh Pemerintah Indonesia.
Lalu, DPR-RI juga dinilai tidak menjalankan fungsinya secara baik dan benar dalam menerapkan mekanisme checks and balances terhadap kebijakan yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia atau Lembaga Eksekutif.
“Kolaborasi Lembaga Eksekutif dan Legislatif seperti ini berkontribusi pada menurunnya skor indeks Rule of Law di Indonesia dan justru semakin menciptakan kondisi despotisme kekuasaan politis dalam proses penerbitan kebijakan hukum yang tentunya tidak sehat bagi agenda reformasi dan demokratisasi di Indonesia,” katanya.
Gufroni mendesak agar Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Perppu Cipta Kerja yang disetujui oleh DPR RI menjadi Undang-undang mengingat aturan tersebut bersifat inkonstitusional tidak sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Hal tersebut tidak memenuhi syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa”, dan tidak memenuhi syarat partisipasi publik yang bermakna. Gufroni melanjutkan, Pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menunda keberlakuan Perppu Cipta Kerja yang disetujui menjadi Undang-undang oleh DPR RI agar tidak menimbulkan potensi sengketa maupun konflik yang lebih meluas di masyarakat bawah.
Terakhir, Gufroni meminta Pemerintah Republik Indonesia dan DPR RI untuk berhenti melakukan praktik buruk pembuatan produk legislasi dan kebijakan publik yang tidak didasarkan pada proses partisipasi publik yang bermakna. (afn)
Hits: 729