MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Salah satu tantangan bagi organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dalam menghadapi Covid-19 adalah adanya tuduhan tidak berdasar bahwa sikap aktif Muhammadiyah melawan pandemi terutama dalam menentukan perubahan ritual keagamaan adalah mengekor agenda tersembunyi WHO.
Bagi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, pandangan seperti itu tidak perlu ditanggapi karena alih-alih menyelesaikan masalah nyata di depan mata, pandangan seperti itu justru malah merumitkan penyelesaian.
“Bagi kita di Muhammadiyah menggunakan ijtihad jama’i sebagaimana Majelis Tarjih, tidak mengikuti satu dua pandangan yang berbeda. Kita pakai pandangan umum yang itu menjadi cara kita untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jadi itu kerangka berpikir kita,” terang Haedar dalam forum Sosialisasi dan Konsolidasi Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Terkait Pandemi dan Iduladha 1442 H, Rabu (7/7).
Haedar memandang bahwa mereka yang menuduh Muhammadiyah seperti itu dengan membawa beberapa nama ahli ilmu tertentu adalah wajar. Di dalam dunia ilmu baik sosial atau sains, pandangan menyelisihi dari satu dua ahli tak berarti menggugurkan pandangan umum dari keseluruhan ilmu.
“Karena jangankan di ilmu sosial yang luas spektrumnya, tapi di ahli-ahli sains yang berbeda saja itu kan satu teori mesti berbeda antara satu ahli dengan ahli yang lain. Di kedokteran juga begitu. Tapi kita pakai pandangan yang mukafarat, pandangan yang jama’i. Itulah yang menjadi patokan kita berpikir yang mungkin oleh sebagian yang tidak cocok tadi kita disebut mengikuti rezim WHO dan lain sebagainya,” terang Haedar.
Yang Ngotot Berdebat, Silahkan Ke Mahkamah Internasional
Muhammadiyah menurutnya memilih untuk menyelesaikan pandemi dan berempati pada semua pihak yang terdampak. Bagi yang masih bersikeras berdebat, dirinya menganjurkan agar membawa data yang mereka punya kepada lembaga hukum internasional.
“Saya bahkan mohon maaf agak keras keluar. Kalau sudahlah, jika memang soal konspirasi macem-macem, masukkan saja ke agenda saintifik. Dalam ilmu itu kan harus ada bukti, harus ada korelasi, harus ada verifikasi, bahkan harus ada falsifikasi. Lakukan itu. Bahkan kalau perlu oleh semua tim di luar, bahkan kalau punya data kuat kan nanti bisa dibawa ke Mahkamah Internasional gitu kan?,” katanya.
“Ini biar elegan, gitu kan? Karena kan memang orang sudah 4 juta meninggal dan di Indonesia 61 ribu meninggal dunia. Ini tragedi kemanusiaan yang besar. Jadi kalau ada orang dan pihak yang membikin virus ini dan kemudian berkonspirasi untuk menyebarkan virus ini, saya pikir ini bisa menjadi tragedi internasional yang bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Tetapi kemudian jangan menjadi isu-isu medsos yang tanpa dasar, tanpa bukti dan tanpa kekuatan ilmu,” tegasnya.