MUHAMMADIYAH.OR.ID, GARUT—Bagi umat Islam, fenomena alam berupa gerhana baik matahari maupun bulan merupakan tanda kekuasaan Allah. Karena itu dianjurkan untuk menunaikan salat dan khutbah gerhana. Lain dari pada itu, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Muhammadiyah Cibiuk menilai bahwa gerhana mengungkapkan urgensi hisab dibanding rukyat.
“Gerhana merupakan tanda kekuasaan Allah. Fenomena gerhana juga menjadi bukti bahwa hisab yang mampu memprediksi terjadinya gerhana di masa depan begitu diperlukan dalam menata waktu umat Islam,” ucap Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut ini dalam khutbah gerhana Matahari di Masjid Al Furqon Muhammadiyah Nagrak pada Kamis (20/04).
Peristiwa gerhana sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari dan hasilnya selalu sesuai dengan realitas, termasuk yang terakhir peristiwa Gerhana Matahari Hibrid pada Kamis, 20 April 2023. Canggihnya teknologi dan berkembangnya studi astronomi memungkinkan manusia dapat memprediksi kapan terjadinya gerhana, bahkan untuk ratusan tahun yang akan datang. Tidak hanya untuk gerhana, hisab juga dapat digunakan dalam penentuan awal bulan kamariah.
Maman menjelaskan bahwa dalam al-Quran terdapat dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, di antaranya QS. Yunus ayat 5 dan Yasin ayat 39. Kedua ayat tersebut bukan hanya informasi bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, tetapi juga dorongan untuk menyusun penanggalan berdasarkan hisab.
Jika semangat al Quran menggunakan hisab, lantas mengapa Nabi Saw menggunakan rukyat? Maman menjelaskan bahwa hadis tentang perintah rukyat tidak dapat dilepaskan dalam situasi dan kondisi masyarakat Arab ketika itu. Berdasarkan petunjuk hadis dari Ibn Umar, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari” [HR al-Bukhai dan Muslim].
Berdasarkan hadis di atas, umat Islam ketika itu belum memiliki kemampuan menulis dan menghitung. Apalagi pada waktu itu Islam baru berkembang di daratan jazirah Arab, sehingga untuk memudahkan Nabi saw memerintahkan rukyat sebagai metode penentuan awal bulan yang tersedia. Dalam konteks saat ini, illat ini telah hilang sehingga sehingga rukyat tidak lagi relevan untuk digunakan sebagai metode penentuan awal bulan.
Meski argumentasi hisab lebih kuat dibanding rukyat, Maman mengajak jamaah untuk menghormati perbedaan. Menurutnya, baik hisab maupun rukyat berada dalam ranah ijtihad. Aspek terpenting ialah menghindari taklid. Pasalnya, taklid merupakan sikap beragama yang hanya mengikuti pendapat mujtahid namun tidak menggunakan penalaran dan tidak mampu memahami persoalan. Karenanya, umat Islam harus melangkah lebih maju agar jangan sampai menjadi umat yang muqallid.
Jika menjadi mujtahid kelewat sulit, maka seorang muslim bisa menjadi muttabi’, yakni orang yang memahami dan mengamalkan agama dengan menggunakan fatwa dari para mujtahid dan memahami argumentasi hukumnya. Seorang muttabi’ memiliki kemampuan untuk menilai lalu memilih suatu fatwa, sehingga tidak bersikap taken for granted.
“Kita bisa meyakini hasil keputusan hisab atau rukyat. Yang terpenting ialah jangan taklid buta. Lebih baik menjadi muttabi’ atau orang yang ittiba’, yaitu mengikuti pendapat mujtahid namun tahu dan paham dengan argumentasi yang dibangunnya,” terang Maman.
Hits: 1452