MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Abu Hamid Al Ghazali (1111/505) merupakan pemikir besar yang pengaruhnya begitu luas. Karya-karyanya begitu persuasif sehingga mampu menggiring pembaca untuk menerima konsep kebenaran yang ditawarkannya.
Bapak Filsuf Barat Modern Rene Descartes (1650) disebut-sebut salah satu pemikir besar yang terpengaruh Al Ghazali. Jika anggapan ini benar, berarti ada jejak Ghazalian dalam lahirnya era Pencerahan di Barat.
Anggapan di atas lahir dari asumsi bahwa komposisi skematik yang dirangkai Al Ghazali dalam kitab Al Munqidz min al Dhalal, begitu mirip dengan buku Discourse on the Method karya Descartes. Kedua karya tersebut sama-sama bergenre autobiografi yang mengurai drama tahap demi tahap pencarian pengetahuan yang meyakinkan.
Kemiripan kedua karya ini juga terlihat dari bagaimana Al Ghazali dan Descartes mempromosikan skeptisisme sebagai jalan mencari kebenaran. “Al Ghazali menulis autobiografi, begitu juga dengan Descartes. Kedua karya itu sama-sama autobiografi tentang tahapan-tahapan metode keilmuan,” terang Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat yang bekerja sama dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY) pada Sabtu (10/09).
Selain itu, baik Al Ghazali maupun Descartes, keduanya bertitik tolak dari skeptisisme metodologis yang menganggap bahwa keraguan adalah jalan pertama menuju keyakinan. Dari skeptisme itulah mereka melakukan analisis terhadap panca indera dan akal. Mereka menganggap bahwa kebenaran yang bersumber dari indra dan akal, bukan termasuk pengetahuan yang hakiki. Bagi Descartes, ilmu harus berasal dari natural light (cahaya alami), sedangkan al-Ghazali menyebutnya al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan).
“Buku Al Ghazali sudah beredar dan diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Bahkan teolog yang hidup sebelum Descartes yakni Thomas Aquinas sudah terpengaruh Al Ghazali. Jangankan Descartes, di zaman Al Ghazali sendiri sudah berpengaruh melintas Andalusia, Spanyol,” terang Rofiq.
Meski terdapat kemiripan, Rofiq juga mengungkapan palung perbedaan antara Al Ghazali dan Descartes. Menurutnya, Al Ghazali membatasi fungsi ragu dalam diri manusia. Sebab keraguan akan berubah jadi destruktif ketika digunakan terlalu berlebihan. Tidak perlu meragukan ajaran agama yang bersifat supra rasional, ia hanya perlu dijalankan tanpa dipertanyakan. Sedangkan bagi Descartes, manusia harus meragukan segala hal dalam hidup.
“Bagi Al Ghazali, Manusia harus submit pada otoritas, berhenti mempertanyakan dan meragukan segala sesuatu. Saat sudah mencapai keyakinan tentang pentingya agama (wahyu), manusia kita harus tunduk,” ucap alumni Arizona State University ini.
sumber foto : http://medium.com/@mustaphahitani