MUHAMMADIYAH.OR.ID, MESIR—Mesir adalah negara yang secara geografis terletak di belahan utara benua Afrika, meskipun sebagian wilayahnya di daerah Semenanjung Sinai merupakan bagian dari benua Asia. Islam masuk ke daratan yang dibelah sungai Nil ini dibawa oleh seorang panglima perang sekaligus sahabat Rasulullah, Amru bin Ash pada tahun 641 M.
Negari yang dijuluki Ardlu Al Anbiya atau Bumi Para Nabi ini mayoritas penduduknya beragama muslim. Tidaklah mengherangkan bila kita akan menjumpai budaya menarik khas Mesir selama bulan Ramadan. Aminullah Furqon, kader Muhammadiyah yang sedang menempuh pendidikan di Mesir, menghadirkan pengalaman Ramadan yang berkesan.
Tahun pertama menjalani ibadah puasa di Mesir, Furqon cukup terkaget dengan durasi dari terbit fajar hingga matahari tenggelam. Pada saat itu, musim panas sejak awal bulan Ramadan mempengaruhi cuaca berada pada kisaran 40°-43°C. Hal ini mengakibatkan waktu di siang hari lebih lama daripada malam hari sehingga waktu berpuasa selama satu hari ditempuh selama 16 jam. Bagi Furqon hal tersebut merupakan tantangan tersendiri yang harus dilalui.
“Tahun pertama saat menjalani puasa di Mesir tentunya terkejut karena sangat berbeda dengan di Indonesia, khususnya waktu antara sahur dan berbuka, waktu itu tahu 2013 puasanya di musim panas, adzan subuh jam 3 pagi dan adzan magrib jam 7 malam,” kata Furqon pada Rabu (16/04).
Puasa di negeri Firaun ini bukan hanya melawan hawa nafsur, melainkan juga melawan hawa panas. Hembusan angin yang melewati lapisan kulit dan mengakibatkan rambut bergoyang pun seolah tak terasa sepoinya. Dengan mengungkap syukur, pengalaman segersang ini dapat dilalui Furqon, salah satunya lantaran kuatnya hubungan antar warga muslim di sana yang saling memotivasi untuk tetap bertahan. Dukungan emosional memang tak membuat perut kenyang, namun semangat puasa jadi semakin berkobar.
Salah satu motivasi yang membuat Furqon semangat kembali berpuasa adalah momen ketika berbuka puasa. Menurutnya, setiap sore hari menjelang berbuka, hampir di setiap tempat di sudut-sudut jalan digelar penyajian Maidatu al Rahman atau Hidangan Tuhan. Hidangan ini berasal dari para dermawan di Mesir yang diberikan kepada warga setempat maupun mahasiswa mancanegara. Bagi Furqon, inilah suguhan yang mampu menjawab ujian puasa sebagai kepastian dari penantian waktu berbuka.
“Dalam kondisi normal biasanya ada Maidatu al-Rahman semacam takjil bersama di jalan-jalan disediakan bangku dan meja juga santapan berbuka gratis, biasanya setengah jam sebelum berbuka sudah penuh dengan mahasiswa-mahasiswa dan warga setempat,” tutur anggota PCIM Mesir ini.
Furqon menyadari bahwa di Mesir, waktu subuh semakin maju dan maghrib semakin mundur sehingga waktu berpuasa semakin panjang. Walau waktu malam yang semakin pendek tidak menyurutkannya untuk tetap pergi tarawih berjamaah di masjid. Menurutnya, budaya salat tarawih di Mesir tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, Furqon pernah mendapati momen qunut salat tarawih dengan durasi yang tidak biasa dan mungkin yang terpanjang di dunia.
“Kalau kaifiyat ibadah tarawihnya tidak jauh beda dengan di Indonesia ada yang delapan rakaat, ada yang 20 rakaaat. Di sela-sela tarawih juga terkadang ada kultumnya. Mungkin yang bedanya dulu saya salat di masjid Amr bin Ash malam 27 Ramadan dan qunutnya super lama, saya perkirakan durasi qunutnya 40 menit,” kata Furqon.
Akan tetapi, pada masa pandemi kebijakan ihwal ibadah tarawih berganti. Tahun lalu, masjid ditutup dan jam malam diberlakukan, sehingga tidak ada tarawih berjamaah. Pada tahun ini, restoran beroperasi kembali dan masjid dibuka untuk melaksanakan salat, meskipun aturan kebersihan dan jarak fisik harus dipatuhi. Pemerintah setempat telah mengizinkan sebagian besar masjid untuk kembali dibuka, mengizinkan pelaksanaan salat tarawih dengan menerapkan protokol kesehatan dan mempersingkat durasi ibadah.
Kehadiran pandemi juga berdampak pada kegiatan di PCIM Mesir. Sebelum datangnya wabah, PCIM Mesir banyak melakukan kegiatan-kegiatan rutin selama bulan Ramadan seperti bedah buku, diskusi, dan pengajian. Namun saat ini, kata Furqon, mereka hanya bisa mengadakan kajian secara daring, memanfaatkan teknologi sebagai medium berinteraksi. Dirinya juga memberitahu bahwa PCIM Mesir telah mengimbau anggotanya untuk menghindari acara yang mengundang orang banyak, dan disiplin protokol kesehatan di Markaz Dakwah.
“Kegiatan PCIM selama Ramadan, mengadakan kajian tausiah during baik bekerjasama dengan PCIM lainnya atau pun sendri, mengadakan amal sosial bagi bagi sembako untuk mahasiswa indonesia di Mesir dan penerimaan zakat fitrah,” tutur Furqon.