MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Tahun 2020, Indonesia tidak hanya mendapatkan musibah pandemi Covid-19, tetapi juga musibah meninggalnya ratusan ulama sepuh baik dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, maupun ormas Islam yang lain.
Berbeda dengan pejabat publik yang memiliki sistem untuk mengganti kekosongan, melahirkan ulama lebih ketat dan berjenjang karena menuntut penguasaan keilmuan dan kualitas diri.
Fenomena ini dipandang oleh Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim sebagai satu teguran untuk serius menggarap pengkaderan ulama.
“Saya hampir tidak pernah dalam satu pekan atau satu bulan tidak mengeluarkan poster takziah. Ini perlu kita antisipasi bagaimana kaderisasi ulama untuk regenerasi estafet perjuangan ulama,” jelas Fahmi dalam dialog Al Fahmu Insitute, Kamis (25/2).
Menanggapi kekhawatiran Fahmi Salim, Ketua Divisi Kaderisasi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Ghofar Ismail menjelaskan bahwa Muhammadiyah dalam masalah ini harus mulai serius menggarap potensi yang dimiliki.
Muhammadiyah menurutnya tak perlu khawatir jika mampu mengelola empat peluang yang dimiliki, yaitu 376 pesantren Muhammadiyah di seluruh Indonesia, asrama mahasiswa di 30 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) beserta tujuh Ma’had Aly dan program studi Keislaman di PTM terkait.
Potensi itu diperbesar dengan banyaknya kader Muhammadiyah yang tersebar di berbagai kampus Islam selain PTM dan universitas Islam di luar negeri.
“Ini kalau diserusi ke depannya kita tidak kekurangan ulama,” jelas Ghofar.
Akan tetapi bukan tanpa masalah, kaderisasi ulama menurut Ghofar juga harus memperhatikan standar dan matrikulasi kemampuan ulama Muhammadiyah agar dapat menyampaikan Islam yang Berkemajuan sesuai Manhaj Tarjih dan gerakan Tajdid.
“Juga butuh pengelolaan dan pendanaan yang serius. Ini yang perlu dibahas Muhammadiyah lintas Majelis dan Lembaga,” pungkasnya.