MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti merasa bersyukur lantaran istilah wasathiyah atau moderat tambah dikenal masyarakat luas. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari peran mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang rajin mengikuti konferensi perdamaian dunia, sehingga mengganti terma islam rahmatan lil’alamin menjadi islam wasathiyah dalam diplomasi Indonesia.
“Istilah ini memang sangat populer, di samping ada istilah terkenal lain seperti deradikalisasi sebagai counter violence extrimism. Dan Muhammadiyah sejak awal sudah konsisten menggunakan istilah moderasi beragama,” kata Abdul Mu’ti dalam Pengajian Tarjih dengan tema Refleksi Milad Muhammadiyah ke-109: Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah pada Rabu (17/11).
Mu’ti menerangkan bahwa Islam wasathiyyah diambil dari kata wasatha dalam al-Qur’an yang disebut lima kali dengan segala derivasinya, yaitu: 1) wasatna (QS. Al-Adiyat: 5), yakni tengah atau yang terbaik; 2) wasathan (QS. Al-Baqarah: 143), artinya adil dan pilihan; 3) awsith (QS. Al-Maidah: 89), yaitu tidak ekstrem dan tidak berlebih lebihan; 4) awsathu (QS. Al-Qalam: 28), maknanya bijaksana; dan 5) wustha (QS. Al-Baqarah: 238), ini berkaitan dengan waktu waktu salat, “hendaknya kamu menjaga waktu waktu salat dan salat wustha..”.
Dari konsep ini, Muhammadiyah memahami konsep moderat meliputi tiga dimensi, di antaranya: pertama, wasatha itu berarti sesuatu yang sangat baik yang karena itu seringkali disamakan dengan khair. Imam Al-Qurthubi menyamakan wasatha dengan oase di tengah gurun; kedua, wasatha yang berkaitan dengan sikap, tidak ekstrem dan tidak pula berlebih-lebihan baik dalam ibadah ataupun dalam hal muamalah; ketiga, berperilaku sesuai dengan ilmu dan hukum sehingga seringkali wasath itu adalah sikap adil yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.
“Wasit itu kan adalah orang yang di tengah, atau pengadil sehingga dia pasti akan objektif. Orang yang berilmu pasti dia akan adil. Maka gerakan wasathiyyah adalah gerakan ilmu dan kita senantiasa menegakkan hukum sebagaimana mestinya. Adil secara hukum bermakna yang haqq itu haqq dan yang bathil itu bathil. Namun untuk kita menyampaikan dua hal tersebut tetap kita menggunakan qaulan karimaa qaulan syadiida pada orang yang berbeda, karena kita memiliki ilmu yang mendalam dalam gerakan wasathiyyah,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta ini.
Karenanya, Abdul Mu’ti menekankan bahwa Muhammadiyah itu bersikap moderat yang tidak berlebih-lebihan dan tidak pula ekstrem. Sebagai gerakan tengahan, Muhammadiyah tampil menjadi gerakan ilmu. Tidak heran bila dalam menyelesaikan ragam masalah yang ada, Muhammadiyah selalu mendengarkan pendapat dari multiperspektif sehingga diharapkan melahirkan solusi yang dapat diterima oleh segala pihak.
“Saya seringkali menerjemahkan amar ma’ruf nahi munkar, karena ‘arafa itu mengetahui, yakni mengetahui ilmu, sehingga gerakan moderat adalah gerakan ilmu yakni mengajak orang untuk bersikap rasional dan objektif, sehingga karena itu Muhammadiyah dalam menyelesaikan masalah selalu mendengarkan permasalahan dari segala sisi,” kata Mu’ti.
Mu’ti juga turut mengingatkan bahwa pandangan Muhammadiyah tidak selalu sama dengan yang lain dan tidak pula selalu yang paling benar. Muhammadiyah merupakan organisasi yang sangat terbuka dengan kritik dan masukan pendapat. Misalnya, foto KH. Ahmad Dahlan yang dulunya tidak diperbolehkan karena takut akan pengkultusan, namun saat ini hal itu dibolehkan demi kepentingan pendidikan, dan hal itu bukan bentuk dari “mencla-mencle” justru demi menghindari truth claim dan terbuka akan segala kritik keilmuan.