MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Sejatinya, seluruh jenjang pendidikan di Indonesia memiliki misi khusus yang diturunkan dari alinea ke-4 UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam konteks ini, maka tidak ada perbedaan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terjadi kesenjangan kebijakan antara yang ‘negeri’ dan yang ‘swasta’ meskipun kualitas pendidikannya boleh jadi berimbang.
Khusus untuk lembaga pendidikan tinggi, kesenjangan ini dapat dilihat dari adanya kebijakan jalur mandiri bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang selain dianggap menghalangi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mendapatkan peserta didik, jalur mandiri juga dinilai rentan disalahgunakan lewat praktik-praktik rasuah seperti suap. Kasus di salah satu universitas di Lampung beberapa waktu lalu adalah contohnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Syafiq A Mughni menyampaikan tiga saran bagi pemangku kebijakan dan penyelenggara pendidikan. Dia pun berharap kebijakan ini segera dievaluasi bagi Perguruan Tinggi Negeri.
“Pertama, jangan sampai ada kesan bahwa semua calon potensial mahasiswa itu dihabiskan oleh PTN tanpa menyisakan sedikitpun untuk PTS karena PTS kan juga punya andil untuk mencerdaskan bangsa kita sehingga tidak ada kesan serakah untuk menghabisi seluruh calon mahasiswa di perguruan tinggi tertentu,” ujarnya.
“Kedua, bagaimana supaya program mandiri itu juga tidak ada kesan sebagai pengumpul dana dengan melanggar prinsip-prinsip etika akademik dan etika sosial dengan bayaran yang sangat mahal dan sangat sulit terjangkau oleh masyarakat. Ini tentu juga membuat calon-calon mahasiswa yang potensial yang ekonominya pas-pasan mengalami kesulitan untuk meraih ini,” tambahnya.
“Mungkin juga secara tersembunyi maksud dari jalur mandiri ini adalah untuk mengumpulkan dana tetapi kalau pikirannya hanya untuk itu saya kira itu tidak bisa dibenarkan,” kata Syafiq dalam wawancara langsung di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Kamis sore (25/8).
Ketiga, Syafiq menyebut pendidikan sebagai sesuatu yang suci sehingga tidak boleh dikotori dengan praktik yang mengarah pada pemerasan, korupsi, abuse of power hingga bermacam kebijakan yang mengandung moral hazard (pelanggaran moral).
“Saya kira kalau semua itu tidak dibersihkan akan mengganggu citra Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang mencerdaskan anak didik kita dan juga akan bisa menciderai institusi pendidikan itu sebagai wadah pengabdian bagi seluruh civitas akademika di dalam perguruan tinggi tersebut. Sehingga jika ada salah satu oknum atau institusi yang memanfaatkan ini untuk kepentingan pribadi, saya kira ini adalah kesalahan fatal,” ujarnya.
“Saya berharap hal itu tidak terjadi lagi di Indonesia. Tidak akan ada lagi ketidakadilan, abuse of power, baik di dalam rekrutmen mahasiswa maupun dalam rekrutmen tenaga pendidikan, dosen pengajar di perguruan tinggi itu yang bisa membuat pendidikan kita mengalami distorsi dan deviasi,” tegas Syafiq. (afn)