MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Semenjak berdiri 1912 silam, KH. Ahmad Dahlan telah membawa Muhammadiyah untuk konsisten bergerak pada wilayah pembaharuan atau tajdid. Karenanya, tidak heran bila Mantan Ketua Majelis Tarjih Amin Abdullah mengungkapkan bahwa tajdid merupakan inti dari gerakan Muhammadiyah.
“Bicara tajdid ya bicara core Muhammadiyah. Jadi, kalau dia merasa warga Muhammadiyah tetapi tidak terlintas ada tajdid di situ ya bukan Muhammadiyah, kira-kira begitu. Karena bicara tajdid sama dengan bicara sejarah pergerakan Muhammadiyah,” kata Amin Abdullah dalam acara webinar yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Ahad (01/08).
Konsepsi tajdid dalam gerakan Muhammadiyah perlu penyegaran. Amin Abdullah kemudian menawarkan tiga wilayah yang perlu dilakukan untuk re-tajdid, yaitu: pertama, tajdid purifikatif atau pemurnian meliputi pra-scientific thought seperti tahayyul, bidah, dan khurafat.
“Purifikasi memang wilayahnya menyasar pada cara-cara berpikir manusia pra-scientific. Inilah yang dikritik Muhammadiyah sejak 100 tahun yang lalu, yang disebut TBC itu (tahayyul, bidah, churafat), atau biasa disimbolkan dengan dukun vs dokter,” tutur Amin Abdullah.
Kedua, tajdid dinamisasi meliputi post-scientific thought seperti pengembangan kemajuan sains dan teknologi. Akan tetapi, Amin Abdullah mewanti-wanti agar selalu waspada dengan jebakan kemajuan teknologi saat ini sebab bisa saja mendegradasi human values.
“Kemunculan hoax mencerminkan bahwa kemajuan sains dan teknologi malah mendegradasi kualitas kemanusiaan. Ini saya kira yang berat. Media sosial sebagai cermin budaya modern, tetapi bila tidak hati-hati dia akan mendegradasi human values,” ungkap Amin Abdullah.
Dalam 150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat manusia mengalami perubahan yang luar biasa berkat sains dan teknologi. Banyaknya perubahan ini, kata Amin, memicu kembali pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat antar umat beragama (greater inter-faith interaction), perlakuan yang sama kepada semua warga negara (equal citizenship), dan kesetaraan gender.
Ketiga, keterlindanan antara purifikasi dan dinamisasi. Amin Abdullah menjelaskan bahwa pada wilayah ini seringkali terjadi campur aduk antara pola pikir fikih dan kalam (normatif) dengan sosial-kemasyarakatan, sosial-kenegaraan, dan kemanusiaan universal (historis). Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan historisitas akan memandang Islam lebih aplicable dan mampu mentransfrom antara data dan realita.
“Pola pikir kalam dan fikih kadang tidak bisa sinkron dengan pola pikir sosial-kemasyarakatan. Saya kira itu tidak akur dan biasanya antara normatif dengan historis, yang historis kalah. Banyak buku yang membahas ini,” ungkap mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.